Hubungan Thailand dan Kamboja beberapa waktu lalu kembali memanas dengan pecahnya konflik yang menewaskan puluhan orang termasuk warga sipil. Bukan hal baru, sengketa perbatasan ini nampak seperti api yang tak pernah padam antar negara anggota ASEAN tersebut. Lantas, satu pertanyaan muncul: Apakah ASEAN perlu reformasi agar lebih relevan dalam menjaga stabilitas perdamaian regional?
Selayang Pandang Konflik
Pada bulan Juli 2025, pertempuran di sepanjang perbatasan Thailand-Kamboja pecah dan menjadi permusuhan paling sengit yang pernah terjadi antar negara tetangga itu selama lebih dari satu dekade. Konfrontasi melibatkan artileri berat, roket hingga balasan serangan udara dari Pesawat Tempur F-16 Thailand untuk pertama kalinya. Akibatnya, lebih dari 30 orang tewas dan ratusan ribu warga terpaksa mengungsi saat itu.
Eskalasi yang signifikan bersumber pada tumpang tindih klaim atas wilayah perbatasan, yang membentang sepanjang 818 km. Keduanya meyakini metode kartografi yang berbeda. Kamboja merujuk pada demarkasi yang dibuat pada masa kolonial Prancis tahun 1907 sebagai batas kedaulatannya, sebuah klaim yang dianggap tidak benar oleh Thailand, terutama di sekitar kompleks Candi Preah Vihear.
Pada tahun 1954, pasukan Thailand menduduki Candi Preah Vihear setelah Prancis meninggalkan Kamboja. Lima tahun kemudian, Kamboja membawa masalah ini ke Mahkamah Internasional (ICJ) berdasarkan bukti-bukti sejarah dari era Kolonial Prancis guna mendapatkan kembali candi dari era kekaisaran Khmer itu, yang dianggapnya sebagai bagian dari warisan budaya.
Setelah melalui berbagai pertimbangan, ICJ memutuskan bahwa candi itu “terletak di wilayah kedaulatan Kamboja”, terutama berdasarkan garis yang dipetakkan pada perjanjian Prancis-Siam. Sejak saat itu, pemerintah Kamboja menetapkan berbagai kebijakan guna menegaskan kepemilikan atas candi tersebut. Kendati demikian, area yang juga dijuluki sebagai Segitiga Zamrud itu terus menjadi sumber ketegangan.
Kamboja mendaftarkan Candi Preah Vihear sebagai warisan budaya dunia dan diakui UNESCO pada 2008. Akibatnya, konflik militer pun tak terelakkan hingga berlanjut selama tiga tahun dan puluhan ribu terpaksa penduduk mengungsi dari wilayah tersebut. Upaya diplomasi digencarkan dan Kamboja kembali mengajukan gugatan ke ICJ. Hasilnya, ICJ kembali menyerahkan kendali atas wilayah di sekitar candi itu kepada Kamboja pada tahun 2013.
Faktor warisan kolonial dan budaya tersebut menunjukkan bagaimana sengketa wilayah perbatasan yang belum terselesaikan dapat dengan cepat meningkat menjadi konflik bersenjata. Dinamika historis inilah yang menjadi latar belakang pecahnya konflik pada tahun ini.
Respons ASEAN
Tak lama setelah konflik pecah, Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim, yang juga menjabat sebagai ketua ASEAN, meminta Thailand-Kamboja segera menahan diri dan menghentikan permusuhan keduanya. Ia pun mengungkapkan telah menyampaikan pesan kepada kedua perdana menteri bahwa mereka adalah anggota penting ASEAN dan perlu segera melakukan negosiasi damai.
Komitmen mendukung perdamaian itu diwujudkan dengan perundingan yang dimediasi Anwar di Kuala Lumpur pada 28 Juli 2025. Pelaksana Tugas (Plt) Perdana Menteri Thailand Phumtham Wechayachai dan Perdana Menteri Kamboja Hun Manet sepakat untuk gencatan senjata tanpa syarat guna menghentikan kekerasan di lapangan. Namun, implementasinya di lapangan, kedua belah pihak masih saling tuduh menuduh adanya aksi militer yang melanggar gencatan senjata tersebut.
Peneliti ASEAN Studies Program dari The Habibie Center, Marina Ika Sari menyoroti upaya negosiasi perdamaian yang disepakati Thailand dan Kamboja didasarkan atas dua faktor. Pertama, keinginan Thailand-Kamboja untuk segera mengembalikan situasi melalui upaya diplomasi. Marina menilai, keduanya tidak ingin adanya intervensi pihak eksternal seperti Perancis, Amerika Serikat (AS), dan Cina, yang menawarkan diri untuk menjadi mediator konflik tersebut. Dengan kata lain, keduanya memercayai Malaysia sebagai Ketua ASEAN saat ini dan memilih menggunakan mekanisme ASEAN. Dalam framework ASEAN sendiri, upaya mediasi dapat dilakukan atas persetujuan dari pihak-pihak yang berkonflik. Faktor kedua yang tidak kalah penting adalah netralitas Malaysia, yang dianggap tidak memiliki kepentingan tersendiri dibanding pihak eksternal.
Kendati demikian, keberhasilan tersebut nampaknya bukan hasil dari keketuaan Malaysia di ASEAN semata. Pada saat perundingan damai, AS dan Cina mengirim delegasi yang bertindak sebagai observer atau pengamat. Dalam hal ini, ia menganggap alasan keikutsertaan dua negara besar itu adalah untuk memastikan pengaruhnya tetap kuat di ASEAN. Jadi, sedikit banyak, ucapnya, tekanan internasional juga turut berperan di dalamnya. Misalnya, Presiden AS Donald Trump sempat secara terbuka memperingatkan tidak akan membuat kesepakatan dagang dengan masing-masing negara jika konflik bersenjata terus berlanjut.
Ketegangan Thailand-Kamboja, seperti konflik negara anggota lainnya, kembali menggarisbawahi keterbatasan kemampuan ASEAN dalam mengelola krisis keamanan di dalam tubuhnya sendiri. Banyak argumen para ahli menilai bahwa prinsip non-intervensi justru membatasi ASEAN karena tidak dapat berbuat banyak. Meskipun dalam hal ini Thailand-Kamboja mengizinkan adanya mediasi dari ASEAN, tetapi pada akhirnya political will dari kedua pihaklah yang dapat menentukan perdamaian jangka panjang dalam menyelesaikan konflik tersebut.
“Seharusnya prinsip non-intervensi ASEAN dapat lebih fleksibel sesuai dengan keadaan tertentu seperti krisis kemanusiaan dan tindakan militerisasi,” ujar Marina.
Ia menuturkan, ASEAN juga memiliki beberapa prinsip dan nilai-nilai lain yang seharusnya dapat mendukung dan menjadi dasar dalam penyelesaian konflik. Antara lain “Hak setiap negara untuk menjalankan kehidupan nasionalnya…”, penolakan terhadap penggunaan kekerasan, sehingga penyelesaian perbedaan atau perselisihan dilakukan secara damai melalui dialog dan diplomasi, dan mendorong perlindungan hak asasi manusia. Sehingga, walaupun reformasi institusional pada Piagam ASEAN sulit untuk dilakukan, setidaknya terdapat fleksibilitas implementasinya guna memperluas peran ASEAN dalam mendukung perdamaian di kawasan.
Selain itu, ia juga mengatakan perlunya respons cepat ASEAN dalam menanggapi situasi konflik agar korban jiwa tidak semakin banyak. Sebab, pengambilan keputusan melalui membutuhkan waktu dan proses birokrasi yang cukup rumit. Kemudian sebagai fasilitator, yang paling penting adalah pendekatan jangka panjang sebagai langkah lanjutan setelah gencatan senjata berhasil dilakukan dan jika perdamaian berhasil tercapai. Tujuannya sebagai upaya preventif gunamenekan potensi terulangnya konflik terjadi lagi di masa depan.
Sementara, dalam penyelesaian konflik Thailand-Kamboja, keduanya sepakat untuk mengizinkan pengamat dari ASEAN memantau pelaksanaan gencatan senjata. “Tim Pengamat Sementara (Interim Observer Team/IOT) terdiri dari atase pertahanan negara anggota ASEAN yang terakreditasi di Kamboja atau Thailand dan dipimpin oleh Atase Pertahanan Malaysia akan dibentuk secara terpisah dan independen di masing-masing negara, untuk secara reguler mengamati pelaksanaan gencatan senjata,” demikian bunyi pernyataan bersama Thailand dan Kamboja.
Indonesia Perlu Berperan Aktif
Setelah pecahnya konflik Thailand-Kamboja, tekanan publik muncul agar pemerintah Indonesia lebih berperan aktif selaku salah satu founding fathers dan de facto leader di ASEAN. Marina melihat, nampaknya pemerintahan saat ini lebih fokus pada menjalin hubungan bilateral dengan negara-negara di luar kawasan regional. Padahal, ASEAN telah lama dan akan tetap menjadi panggung diplomasi yang sempurna bagi Indonesia dalam mengorkestrasikan kepemimpinan regionalnya.
Ia membandingkan dengan diplomasi yang dilakukan pada zaman Rd. Mohammad Marty Muliana Natalegawa dan Retno Lestari Priansari Marsudi, yang sangat aktif dan melancarkan strategi diplomasi dalam mempromosikan perdamaian internasional. Sehingga, hal ini membuat nama dan citra Indonesia sebagai penjaga perdamaian dikenal di kancah global. “Saya kurang melihat sosok yang saat ini mengambil peran aktif dan memberi kontribusi di arsitektur regional, berbeda dengan sebelumnya,” ujarnya.
Walaupun Juru Bicara Kementrian Luar Negeri RI, Rolliansyah Soemirat menyampaikan bahwa Indonesia telah berperan secara intensif melakukan banyak komunikasi dengan berbagai pihak dari Thailand, Kamboja, dan Malaysia, ia menilai bahwa sebaiknya terdapat juga informasi dan pernyataan umum ke publik agar tahu sebenarnya Indonesia juga mengambil peran. “Karena tidak terpublikasikan, masyarakat jadi tidak tahu. Memang, kita sering melakukan quiet diplomacy dan cukup berhasil. Tetapi di satu sisi, transparansi informasi ke publik juga perlu disampaikan untuk mengetahui gambaran besar peran yang dilakukan Indonesia,” imbuhnya.
Komentar