Rene L. Pattiradjawane
Associate Fellow The Habibie Center
Virus Korona dan Globalisasi
Tak ada yang mengira akan terjadi epidemi di Wuhan, China, dengan kemunculan Coronavirus 2019-nCoV. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan wabah sejenis SARS (flu burung) dan MERS (flu unta) itu sebagai ancaman bagi umat manusia.
Yang mengejutkan, di era informasi ini ada tuduhan serampangan bahwa 2019-nCOV berasal dari kelelawar, menu makanan jorok orang-orang China, terutama dari binatang liar, dan timbul pula sikap bermusuhan dengan orang China yang belum tentu warga negara RRC
Di sisi lain, dalam sistem pemerintahan otoriter di bawah kekuasaan Partai Komunis China (PKC) yang dikendalikan Presiden Xi Jinping, informasi tak bergerak bebas. Insiden wabah 2019-nCoV ini dituding berasal dari pasar basah makanan laut Huanan, Distrik Jianghan, Wuhan. Pasar Huanan memiliki 1000 penjaja hewan laut dan liar terbesar di kawasan China bagian tengah.
Dalam kepanikan wabah 2019-nCoV ini, apakah kita harus menyalahkan China karena perilaku makan rakyatnya, kebersihan lingkungannya, dan keotoritarianan komunisme berkarakteristik China? Ini tanyaan yang tak mudah dijawab, sementara itu para ahli strategi dan komentator sering melakukan kesalahan dalam memberi nasihat kepada pemerintah masing-masing.
Empat hal
Berkembang pula persepsi keliru ihwal berbagai peristiwa atau kebijakan para penguasa dan rakyat China.
Beberapa hal perlu disimak. Pertama, statistik perbandingan epidemi pneumonia ini tak sepadan dengan insiden di China dan sering menciptakan salah pengertian. Perlu diingat, apa pun yang melanda China, baik epidemi maupun komposisi demografi yang berdampak pada ekonomi, politik, sosial, dan pembangunan, skala yang diakibatkannya selalu gigantik karena jumlah penduduk yang banyak dan geografi yang luas.
SARS, misalnya, dilaporkan menginfeksi sekitar 8.000 orang di 29 negara dan 744 orang tewas. Ebola di Afrika Barat mengontaminasikan 3.000 orang dengan mortalitas 66 persen. Flu korona baru di Wuhan ini bertingkat mortalitas hanya 2 persen. Tetapi, jangan lupa, 2 persen dari jumlah penduduk China yang 1,437 miliar orang itu sangat masif.
Kedua, urbanisasi di mana pun akan menimbulkan ketimpangan yang dalam. Ia tak menyangkut hanya antara yang berpunya dan tak berpunya, melainkan juga kesempatan merata mengakses berbagai fasilitas yang disediakan negara: kesehatan, pendidikan, dan lapangan kerja
Di China, masalah ini ditandai dengan adanya pekerja migran yang bergerak ke sejumlah provinsi dengan pertumbuhan pembangunan dalam jumlah puluhan juta.
Sistem hukou (registrasi kependudukan individu) kerap jadi penghalang serius bagi buruh migran mengakses fasilitas yang disediakan pemerintah di kota-kota. Seseorang yang memiliki hukou di wilayah perdesaan tak akan mendapat pelayanan sosial (termasuk kesehatan) di wilayah perkotaan.
Awalnya, sistem hukou yang sudah ada sejak zaman dinasti-dinasti berkuasa di daratan China digunakan penguasa modern pada 1958 sebagai mekanisme pembagian kerja ala sistem komunis, pertanian, dan nirpertanian. Stratifikasi sosial China ini antara lain ikut mendorong melebarnya kesenjangan di dalam masyarakat China.
Ketiga, kemajuan teknologi informasi dalam media sosial tak memberi waktu bagi penguasa (termasuk China) menata penjelasan logis kemunculan bencana, baik yang terjadi alamiah maupun rekayasa manusia. Semua fakta dan data mudah dimanipulasi bukan terkait pada institusi tertentu, tapi di tingkat individu dengan perusakan berdampak kolosal.
Tanggung jawab
Survei yang dilakukan Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene yang berpusat di London pada September 2019 tentang pandangan 25 tahun ke depan terkait kesehatan global menyebutkan bahwa krisis iklim global, resistensi obat (termasuk antimikroba dan tuberkolosa), serta bangkitnya epidemi menjadi tantangan terbesar masyarakat global.
Responden di Asia (72,9 persen dari 619 responden di 79 negara) mengatakan, pemerintah dan lembaga kesehatan tak cukup memberdayakan masyarakat untuk mengambil tindakan dan melakukan keputusan bagi perawatan kesehatan.
Menghadapi kenyataan berkembangnya 2019-nCoV ini, tak ada pilihan bagi banyak negara di dunia, termasuk Indonesia. Untuk melindungi warga, batas negara ditutup untuk menghindari penularan virus ini. Epidemi adalah bencana yang tak memiliki asal-usul dan sangat gelap bagi ilmu pengetahuan modern sekalipun.
Satu faktor dalam virus 2019-nCoV ini adalah pola hidup dan diet makan di China yang tak kondusif bagi perlindungan penduduk dunia serta penularannya yang masif.
Dalam kaitan 2019-nCV ini, perlu dipahami, siapa pun bisa terjangkit virus ganas. Negara kuat seperti China tak bisa serta-merta mengandalkan penilaian WHO sebagai pegangan. China juga tak bisa menyatakan sikap tak senang atas kebijakan negara lain dengan tuduhan yang tak perlu. Prinsip non-intervensi tak bisa diartikan swecara sempit, sebagai hal yang mengganggu kedaulatan.
Upaya multilateral diperlukan demi kerja sama secara luas dan fokus mencegah wabah epidemi yang mengancam kemanusiaan. Indonesia sebagai negara kepulauan bisa menginisiasi model teoretis dengan merumuskan tanggung jawab dan kedaulatan bersama.
Model ini, menurut antropolog Hannah Brown (Universitas Durham, Inggris), menata persinggungan kedaulatan sebagai hak untuk menentukan wilayah intervensi dan kewarganegaraan sebagai hak menerima berbagai sumber daya dari mana pun.
Kenapa Indonesia? Sampai tulisan ini dibuat, Indonesia satu-satunya negara di lingkungan Asia Pasifik yang belum terinfeksi 2019-nCoV ini. Melalui mekanisme multilateral tanggung jawab kedaulatan ini, Indonesia jangan hanya fokus pada mengatasi epidemi virus-virus mematikan ketika penangkal belum ditemukan, tetapi juga mencegah sentimen berlebihan seperti yang terjadi dalam sepekan terakhir ini.
[Artikel ini pertama kali diposting oleh Harian Kompas pada tanggal 11 Februari 2020 dan bisa ditemukan di: https://kompas.id/baca/opini/2020/02/11/virus-korona-dan-globalisasi]
Komentar