Marina Ika Sari
Peneliti, ASEAN Studies Program

Urgensi Modernisasi Alutsista dan Upaya Menuju Kemandirian Industri Pertahanan

Tidak perlu memilih antara pembangunan ekonomi atau pertahanan, keduanya harus berjalan beriringan. Modernisasi alutsista merupakan investasi pertahanan jangka panjang untuk menjaga kedaulatan Indonesia, termasuk di dalamnya kedaulatan ekonomi (sumber daya ekonomi, infrastruktur pembangunan ekonomi).

Alat utama sistem persenjataan (alutsista) merupakan salah satu elemen pembentuk postur pertahanan Indonesia. Dalam membangun postur pertahanan negara, pemerintah Indonesia menggunakan konsep capability-based planning yang tertuang dalam program Kekuatan Pokok Minimum (Minimum Essential Force/MEF).

MEF merupakan standar kekuatan pokok minimum TNI yang harus disiapkan sebagai prasyarat utama dan mendasar bagi terlaksananya tugas pokok dan fungsi TNI secara efektif dalam menghadapi ancaman. Terkait dengan pembangunan alutsista dalam ketentuan MEF, Indonesia melaksanakan MEF fase I yang dimulai pada tahun 2010-2014, MEF fase II tahun 2015-2019, dan MEF fase III tahun 2020-2024.

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Kekuatan Pertahanan, Kementerian Pertahanan, realisasi pemenuhan MEF I dan MEF II tidak mencapai target yang telah ditetapkan. Pada MEF fase I, capaian MEF berada pada 54,97% dari target sebesar 57,24%. Kemudian, pada MEF fase II, capaian MEF per Oktober 2019 baru mencapai 63,19% dari target 75,54%. Selain karena masalah keterbatasan anggaran, penyebab lain MEF fase II tidak tercapai adalah karena proses perencanaan kebutuhan dan pengadaan yang memerlukan waktu lama. Saat ini, Indonesia tengah memasuki MEF fase III di mana pemerintah masih memiliki beban 36,81% agar mencapai target 100% pada tahun 2024.

Urgensi Modernisasi Alutsista

Terdapat faktor internal dan eksternal yang mendesak pemerintah Indonesia untuk melakukan peremajaan alutsista. Faktor internal terkait dengan kondisi alutsista yang dimiliki Indonesia saat ini cukup memprihatinkan dari segi kuantitas maupun kualitas. Jumlah alustsista yang ada belum sesuai dengan jumlah ideal yang ditargetkan dalam MEF. Kemudian, alutsista belum terintegrasi antarmatra, kondisi sebagian besar alutsista sudah berusia lebih dari 25 tahun sehingga tidak dapat beroperasi secara optimal. Merujuk pada laporan the Military Balance 2022 yang diterbitkan oleh International Institute for Strategic Studies, disebutkan bahwa hanya sekitar 40% alutsista Indonesia yang siap digunakan saat operasi. Hal ini tentu saja dapat menurunkan kesiapan tempur TNI dan juga meningkatkan resiko keselamatan personel TNI saat mengoperasikannya.

Faktor eksternal terkait dengan kesiapan Indonesia dalam menghadapi perkembangan geopolitik global yang bersifat dinamis seperti sengketa Laut China Selatan (LCS), krisis Myanmar, rivalitas AS-China di kawasan Indo-Pasifik, kehadiran AUKUS, hingga krisis Ukraina. Untuk meningkatkan kekuatan pertahanannya di tengah dinamika lingkungan strategis dan potensi ancaman yang semakin kompleks di masa depan, maka modernisasi alutsista dinilai perlu agar meningkatkan posisi tawar dan daya gentar Indonesia dalam percaturan politik global.

Strategi Modernisasi Alutsista

Sejak dilantik menjadi Menteri Pertahanan (Menhan) pada 2019, Prabowo Subianto menaruh perhatian besar terhadap pengadaan dan modernisasi alutsista. Dari segi anggaran pertahanan, Kementerian Pertahanan berupaya mengoptimalkan implementasi pengadaan, modernisasi, pemeliharaan dan perawatan (harwat) alutsista. Dikutip dari Buku III Himpunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga Tahun Anggaran 2021 yang diterbitkan oleh Kementerian Keuangan, dari total anggaran pertahanan tahun 2021 sebesar Rp137,3 triliun, proporsi anggaran dukungan untuk pengadaan alutsista TNI sebesar Rp9,3 triliun. Kemudian, total anggaran untuk modernisasi dan harwat tiga matra adalah Rp20,1 triliun atau setara dengan 14,6% dari total anggaran pertahanan, dengan rincian untuk matra darat Rp3,88 triliun, matra laut Rp8,03 triliun, dan matra udara Rp8,19 triliun.

Dalam melakukan pengadaan alutsista baru, Menhan Prabowo membeli sejumlah alutsista produksi dalam negeri, di antaranya tank boat Antasena dan 500 unit kendaraan taktis ringan Maung 4x4 buatan PT Pindad; 9 unit heli serbu Bell 412EPI dari PT DI; kapal perang jenis angkut tank AT-8 dan AT-9 dari PT Bandar Abadi; dan KRI Golok-688 dari PT Lundin Industry Invest. Selain itu 2 unit helikopter anti kapal selam dan 1 unit pesawat CN235 MPA buatan PT DI, juga baru diserahterimakan dari Kemhan kepada TNI AL.

Hal ini menunjukkan bahwa industri pertahanan dalam negeri memiliki kapasitas yang mumpuni dalam memproduksi alutsista. Tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan alutsista dalam negeri, produk alutsista buatan Indonesia pun mampu bersaing di pasar internasional, terlihat dari ekspor ke beberapa negara ASEAN, Afrika, hingga Eropa.

Diplomasi Pertahanan untuk Meningkatkan Kemampuan Industri Pertahanan

Selain membeli alutsista dari produsen dalam negeri, Menhan Prabowo juga aktif melakukan diplomasi pertahanan dengan negara-negara mitra Indonesia. Hampir dalam setiap pertemuan bilateral dan multilateral, Menhan Prabowo selalu berupaya untuk menjajaki atau meningkatkan kerja sama di bidang industri pertahanan. Hasil nyata dari diplomasi pertahanan tersebut antara lain tercapainya kesepakatan kerja sama dalam pembelian 8 unit kapal fregat buatan Italia; lisensi kapal fregat Arrowhead 140 dari Inggris; 2 unit pesawat angkut militer Airbus A400M dari Uni Emirat Arab; 6 unit pesawat tempur Dassault Rafale sebagai skema awal dari rencana pengadaan total 42 unit; dan 2 unit kapal selam Scorpene dari Perancis. Namun, masih ada pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan Indonesia yaitu mengenai keberlanjutan kerja sama produksi jet tempur KFX/IFX dengan Korea Selatan dan rencana pembelian 36 unit jet tempur F-15 dari Amerika Serikat.

Diplomasi pertahanan yang dilakukan Indonesia tersebut bertujuan untuk meningkatkan kapasitas alutsista, dan mengembangkan kemampuan industri pertahanan nasional melalui kerja sama pada tingkat pemerintah, BUMN, maupun swasta. Dalam pengadaan alutsista dari negara lain, Indonesia tidak hanya melakukan jual-beli alutsista dari negara lain, tetapi juga mengedepankan adanya alih teknologi, imbal dagang, offset, dukungan sarana dan prasarana dalam proses pemeliharaan dan perawatan alutsista, serta kolaborasi riset untuk peningkatan kapasitas sumber daya manusia. Hal ini yang ditekankan Presiden Joko Widodo bahwa kebijakan di sektor pertahanan harus bergeser dari hanya sekedar belanja alutsista menjadi investasi pertahanan jangka panjang.

Modernisasi alutsista memang membutuhkan anggaran yang tidak sedikit, oleh karena itu dibutuhkan sebuah perencanaan kebutuhan alutsista yang komprehensif, didasarkan pada skala prioritas yang jelas, terukur, berkesinambungan, dan mengacu pada proyeksi, bentuk, dan potensi ancaman di masa depan. Perlu adanya konsistensi dan komitmen bersama dari para pemangku kebijakan karena proses pengadaan dan modernisasi alutsista membutuhkan waktu yang tidak instan. Pemerintah dapat mengoptimalkan peran industri pertahanan dalam negeri untuk memproduksi alutsista melalui sinergitas antara pemerintah, BUMN, dan swasta.

Selanjutnya, diplomasi pertahanan dengan berbagai negara dalam rangka kerja sama pembelian alutsista merupakan upaya diversifikasi agar Indonesia tidak bergantung hanya pada salah satu negara produsen. Hal ini penting dilakukan agar Indonesia dapat menyesuaikan rantai pasokan global jika terjadi sebuah serangan atau embargo dari negara lain. Setelah upaya modernisasi alutsista dilakukan, pemerintah juga perlu meningkatkan kompetensi dan kapasitas tempur personel TNI sesuai dengan kemajuan teknologi dari alutsista yang baru. Dengan demikian, upaya modernisasi alutsista ini diharapkan dapat bermuara pada tercapainya kemandirian industri pertahanan.


__

Profil Penulis : [yang dimuat hanya versi English]

Marina Ika Sari, M.Si (Han) adalah peneliti ASEAN Studies Program di The Habibie Center dan alumnus program magister, program studi Diplomasi Pertahanan dari Universitas Pertahanan.

Riwayat Pendidikan:
2015-2017 : S2 Program Studi Diplomasi Pertahanan, Universitas Pertahanan
2009-2013 : S1 Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Share
Ingin mendapatkan informasi aktifitas The Habibie Center?