Peneliti Bidang Kajian ASEAN, A. Luthfy Ramiz dikutip dalam sebuah artikel Harian Kompas berjudul "Saatnya ASEAN Gandeng Mitra Atasi Krisis Myanmar" Untuk artikel selengkapnya, silakan lihat di bawah:

Saatnya ASEAN Gandeng Mitra Atasi Krisis Myanmar

Keengganan junta militer Myanmar untuk melaksanakan lima poin konsensus sebagai jalan keluar dari kekacauan pascakudeta militer berpengaruh buruk terhadap wajah ASEAN. Sudah lebih dari setahun sejak kudeta, junta tak memperlihatkan niat baiknya. Maka, sudah saatnya ASEAN mengajak mitra berpengaruh untuk membantu menyelesaikan persoalan di Myanmar.

Pandangan itu disampaikan Luthfy Ramiz, peneliti The Habibie Center, saat dihubungi di Jakarta, Kamis (18/8/2022). "ASEAN mungkin harus mempertimbangkan mengajak mitra eksternal untuk membantu menyelesaikan permasalahan di Myanmar, terutama China," katanya.

Lutfhy memandang China sebagai salah satu negara mitra ASEAN yang bisa membantu penyelesaian masalah di Myanmar karena memiliki kepentingan, terutama ekonomi. China dikenal sebagai salah satu negara mitra perdagangan Myanmar yang cukup erat, disamping Rusia. Rusia sempat menyatakan dukungan atas upaya penyelesaian konflik Mynmar oleh ASEAN.

Luthfy mengatakan, dalam sejarahnya, ASEAN pernah meminta bantuan dari mitranya, yaitu Jepang, untuk menyelesaikan permasalahan di Kamboja pada era 1970-an. Dukungan Jepang, yang kala itu pendonor besar sekaligus mitra ekonomi Kamboja, dipandang Luthfy sama dengan posisi China, Myanmar, dan ASEAN saat ini.

Dibutuhkannya mitra eksternal ASEAN untuk membantu penyelesaian masalah di Myanmar karena banyak pihak menganggap sejauh ini berbagai upaya ASEAN belum membuahkan hasil yang memuaskan. Lima poin konsensus, yang dihasilkan pada pertemuan para pemimpin ASEAN di Jakarta dengan pemimpin junta militer Jenderal Min Aung Hlaing pada 24 April 2021, tidak memperlihatkan hasil menggembirakan.

Bahkan, sebaliknya, upaya ASEAN untuk membantu penyelesaian masalah di Myanmar dipandang banyak pihak, termasuk Presiden Joko Widodo, mengalami kemunduran. Ketidakmauan junta militer Myanmar untuk melaksanakan konsensus tidak menyelesaikan masalah. Padahal, konsensus ini dianggap jalan paling sesuai dalam model penyelesaian ASEAN. Sebaliknya, junta bersikap jemawa dengan menyatakan bahwa KTT ASEAN yang baru saja dilangsungkan di Pnohm Penh, Kamboja, tidak bisa dianggap sebagai KTT karena tidak mengikutsertakan penguasa militer Myanmar yang saat ini memerintah negara tersebut.

"Jika kursi yang mewakili suatu negara kosong, itu tidak boleh dicap sebagai KTT ASEAN," kata juru bicara junta, Zaw Min Tun, Rabu (17/8/2022).

Menurut Zaw, ASEAN melanggar kebijakan dan prinsip sendiri yang tertuang dalam Piagam ASEAN untuk tidak mencampuri urusan kedaulatan negara anggotanya. Dalam pandangan junta, ASEAN telah menghadapi tekanan eksternal ketika berupaya menyelesaikan permasalahan di Myanmar, tanpa mengelaborasinya lebih jauh.

Sebaliknya, dalam pandangan Luthfy, diundangnya pemimpin nonpolitik untuk mewakili Myanmar adalah upaya yang sejalan dengan Piagam ASEAN dalam membantu penyelesaian konflik di Myanmar. "Ini salah satu sikap tegas dari ASEAN. Negara anggota yang tidak bisa menghadirkan wakilnya di dalam KTT dan diwakili oleh perwakilan nonpolitik seharusnya berdampak bagi wajah diplomasi Myanmar," kata Luthfy.

Desakan PBB

Utusan Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Myanmar Noeleen Heyzer untuk pertama kali berkunjung ke Myanmar, Rabu. Dalam pertemuan dengan junta, Heyzer meminta militer menghentikan semua bentuk kekerasan, mengembalikan pemerintahan sipil yang sah dan demokrasi, serta membebaskan semua tahanan politik, termasuk Aung San Suu Kyi. Selain itu, Heyzer mendesak Jenderal Hlaing untuk melakukan moratorium eksekusi tahanan politik di masa depan, setelah eksekusi empat aktivis prodemokrasi beberapa waktu lalu.

Pernyataan resmi Heyzer baru disampaikan dua hari setelah dia meninggalkan Myanmar dan kembali ke negara asalnya, Singapura. Dalam pernyataan setelah kunjungan, Wakil Juru Bicara PBB Farhan Haq mengatakan, Noeleen dan Jenderal Hlaing beserta pejabat militer yang mendampinginya telah berdiskusi dengan baik. Televisi MRTV yang dikelola junta melaporkan, Heyzer dan Hlaing bertukar pandangan tentang mempromosikan kepercayaan dan kerja sama antara Myanmar dan PBB.

Heyzer menyebutkan, dalam pertemuan dengan pemimpin junta dan penasihat seniornya, dia mengomunikasikan langkah-langkah pragmatis yang harus diambil militer untuk meredakan konflik dan mengurangi penderitaan rakyat Myanmar. Ia menyebut pertemuan itu bagian dari upaya PBB mendukung jalur politik secara efektif dan damai untuk kembali ke pemerintahan sipil berdasarkan keinginan dan kebutuhan rakyat.

Sebelumnya, Heyzer menyerukan agar ada langkah-langkah deeskalasi segera, termasuk mengakhiri pengeboman udara dan pembakaran rumah-rumah sipil serta infrastruktur lainnya. Ia menekankan kehadiran dan pertemuannya dengan junta di Naypidaw bukan bentuk legitimasi pemerintahan militer hasil kudeta.

"Rakyat Myanmar memiliki hak atas demokrasi dan penentuan nasib sendiri yang bebas dari ketakutan dan keinginan, yang hanya akan mungkin terjadi dengan niat baik dan upaya semua pemangku kepentingan dalam proses yang inklusif," katanya.

Artikel ini pertama kali diposting oleh Harian KOMPAS pada tanggal 19 Agustus 2022 dan bisa ditemukan di: https://www.kompas.id/baca/internasional/2022/08/18/saatnya-asean-gandeng-mitra-atasi-krisis-myanmar?status=sukses_login&status_login=login

Share
Ingin mendapatkan informasi aktifitas The Habibie Center?