Marina Ika Sari
Peneliti The Habibie Center
Proyeksi Hubungan Segitiga AS-Taiwan-China Pasca-Pilpres Taiwan
KEMENANGAN Lai Ching-te pada pemilu presiden Taiwan (13/1/2024) menandai berkuasanya Democratic Progressive Party (DPP) selama tiga periode berturut-turut sejak Presiden Tsai Ing-wen menjabat pada 2016 dan terpilih kembali pada 2020.
Lai mengungguli kedua rivalnya dengan perolehan suara 40,05 persen (5.586.019 suara), sementara Hou Yu-ih dari Kuomintang (KMT) memperoleh 33,49 persen (4.671.021 suara) dan Ko Wen-je dari Taiwan People’s Party (TPP) dengan 26,46 persen (3.690.466 suara).
Namun, DPP gagal mengamankan kursi mayoritas di parlemen karena hanya berhasil meraih 51 kursi legislatif, kalah satu suara dari KMT yang berhasil memperoleh 52 kursi.
Mengingat DPP menguasai eksekutif dan KMT menguasai legislatif, maka proses pengambilan keputusan di dalam pemerintahan Taiwan ke depan akan semakin menarik untuk dicermati, terutama terkait dengan hubungan lintas selat.
Arah kebijakan luar negeri Taiwan
Lai Ching-te merupakan seorang dokter sebelum ia terjun ke dunia politik pada akhir 1990-an. Ia memulai perjalanan karier politiknya sebagai Legislatif Yuan yang mewakili Kota Tainan, Wali Kota Tainan dari 2010 hingga 2017, Perdana Menteri pada masa Presiden Tsai Ing-wen, dan jabatan terakhirnya adalah Wakil Presiden.
Setelah keluar menjadi pemenang dalam kontestasi pemilu 2024, Lai akan dilantik sebagai Presiden Taiwan ke-16 pada 20 Mei mendatang.
Mewakili partai yang dikenal anti-China, Lai akan melanjutkan kebijakan luar negeri dan kebijakan lintas selat dari Presiden Tsai yang berfokus pada penyeimbangan internal dan eksternal dalam menghadapi China.
Ia merumuskan strategi empat pilar perdamaian, yaitu pencegahan, diversifikasi ekonomi, penguatan kemitraan dengan negara-negara demokratis, dan mempertahankan kebijakan lintas selat yang pragmatis dan berprinsip.
Secara internal, Lai akan memperkuat pertahanan Taiwan mengingat aktivitas militer yang terus digencarkan China di Selat Taiwan.
Ia akan meningkatkan belanja pertahanan pulau tersebut hingga 2,5 persen PDB dan mendukung perpanjangan periode wajib militer dari empat bulan menjadi satu tahun.
Secara eksternal, Lai akan mempererat hubungan dengan Amerika Serikat (AS) sebagai mitra strategis Taiwan untuk menjamin keamanan pulau tersebut dan juga dengan negara-negara demokrasi lainnya.
Terkait dengan isu kedaulatan Taiwan, Lai telah memoderasi sikapnya dari yang sebelumnya sebagai tokoh pro-kemerdekaan menjadi lebih memilih untuk mempertahankan ‘status quo’ di Selat Taiwan.
Ia menggemakan kembali pernyataan Presiden Tsai yang menekankan bahwa Taiwan sudah menjadi negara berdaulat, sehingga tidak perlu mendeklarasikan kemerdekaannya lagi.
Selain itu, Lai dan DPP juga akan tetap mengambil sikap tegas untuk menolak usulan China terkait unifikasi berdasarkan Konsensus 1992 yang memuat Prinsip Satu China dan Satu Negara, Dua Sistem.
Terpilihnya Lai menuai respons beragam dari berbagai negara. AS dan beberapa sekutunya seperti Jepang, Inggris, Filipina, Singapura memberikan ucapan selamat atas suksesnya pemilu Taiwan yang demokratis dan terpilihnya Lai sebagai presiden yang baru.
Akibatnya, China mengecam dan menyampaikan protes terhadap negara-negara tersebut karena dinilai sebagai bentuk interaksi resmi dengan Taiwan yang melanggar prinsip satu China dan merusak hubungan diplomatik mereka dengan China.
Bagi China, isu Taiwan adalah ‘garis merah’ di mana pihak eksternal tidak boleh mencampuri urusan dalam negeri China.
Di sisi lain, ketika negara-negara demokrasi mengucapkan selamat kepada Taiwan, Nauru justru memutuskan untuk mengakhiri hubungan diplomatiknya dengan Taiwan dan membangun kembali hubungan diplomatik dengan China (15/1/2024).
Pemerintah Nauru menyatakan bahwa keputusan tersebut diambil demi kepentingan negara dan rakyatnya.
Sebelumnya, Nauru pernah menjalin hubungan diplomatik dengan China pada 2002, kemudian pada 2005 Nauru menjalin hubungan diplomatik dengan Taiwan.
Dengan beralihnya kembali Nauru ke pihak Negeri Tirai Bambu, saat ini hanya ada 12 negara tersisa yang menjalin hubungan diplomatik resmi dengan Taiwan.
Perlu dicatat bahwa selama delapan tahun terakhir, Taiwan telah kehilangan sepuluh sekutu diplomatiknya, memperlihatkan tekanan diplomatik yang terus digencarkan China terhadap Taiwan saat DPP berkuasa.
Proyeksi hubungan segitiga AS-Taiwan-China
Sebagai salah satu flashpoint di kawasan Indo-Pasifik, hasil pemilu presiden Taiwan menjadi episode penting yang akan menentukan masa depan hubungan segitiga antara AS-Taiwan-China.
AS dan China menaruh perhatian besar karena selama ini isu Taiwan menjadi dasar perbedaan pandangan antara kedua negara adidaya tersebut yang belum dapat ditemukan titik tengahnya.
China mengklaim Taiwan adalah bagian dari negaranya, sedangkan AS menjadi mitra penting bagi Taiwan yang selalu memberikan dukungan pertahanan yang kuat terhadap pulau tersebut.
Lai menilai bahwa hubungan AS-Taiwan yang erat adalah kunci untuk menjamin keamanan Taiwan dari ancaman China.
Walaupun Taiwan dan AS tidak mempunyai hubungan diplomatik secara resmi, namun hubungan informal keduanya didasari pada Taiwan Relations Act yang mengizinkan keterlibatan AS untuk mendukung kapasitas pertahanan diri Taiwan dalam menghadapi intervensi dari China.
Ke depan, kemitraan Taiwan-AS akan terus diperkuat, seperti melalui kunjungan resmi pejabat, kunjungan saat transit, hingga penjualan senjata–yang dapat memicu kemarahan China.
Di mata China, Lai dianggap sebagai seorang separatis berbahaya yang mengancam perdamaian dan menegaskan bahwa hasil pemilu tidak akan menghalangi upaya penyatuan kembali Taiwan ke pangkuan China dan tidak akan mengubah tren perkembangan hubungan lintas selat.
Berkaca dari pemerintahan DPP sebelumnya, interaksi resmi dan dialog lintas selat juga akan sulit dilakukan di masa pemerintahan Lai.
Kemenangan Lai justru akan membuat China semakin intensif memberikan tekanan politik, ekonomi, dan militer terhadap Taiwan.
Proyeksi ke depan bagi hubungan antara AS, Taiwan, dan China antara lain: Taiwan akan tetap mempertahankan ‘status quo’. Hubungan AS dan Taiwan akan semakin dekat dan AS akan melanjutkan dukungannya terhadap Taiwan.
Selain itu, dialog lintas selat antara China dan Taiwan akan sulit dilakukan dan China akan terus memberikan tekanan terhadap Taiwan.
Kemenangan DPP dapat meningkatkan ketegangan dan risiko politik tidak hanya bagi hubungan lintas selat, tetapi juga akan berdampak pada rivalitas AS-China.
Paling perpenting adalah setiap pihak dapat menahan diri untuk tidak melakukan suatu tindakan yang dapat menimbulkan siklus aksi-reaksi militer yang berujung pada meningkatnya ketegangan di kawasan.
Artikel ini pertama kali dipublikasikan oleh Harian KOMPAS pada 14 Februari 2024 dan bisa diakses pada: https://www.kompas.com/global/read/2024/02/14/133103270/proyeksi-hubungan-segitiga-as-taiwan-china-pasca-pilpres-taiwan?page=all#page2
Komentar