Umar Juoro
Senior Fellow the Habibie Center
Pragmatisme Ekonomi
Bank sentral AS, The Fed, serta bank-bank sentral negara-negara maju lainnya dan juga negara-negara berkembang telah menaikkan suku bunga cukup tinggi. Namun, inflasi masih saja tinggi.
Oleh karena itu, The Fed dan bank sentral lain kemungkinan masih akan meningkatkan suku bunga lagi. Akibatnya melemahkan nilai mata uang negara lain karena aliran modal kembali ke AS lagi. Sementara kenaikan harga tetap terjadi, terutama untuk pangan dan energi.
Inflasi terjadi karena di ekonomi riil, permintaan, terutama pangan dan energi, lebih tinggi daripada penawaran. Ini di luar jangkauan bank sentral sekalipun terkait dengan perbankan, khususnya dalam pembiayaan.
Bisa juga karena aspek moneter karena berlebihnya uang beredar melalui pasar modal dan perbankan. Ini berada dalam yurisdiksi bank sentral dan terkait kuat dengan intermediasi perbankan. Keduanya mencirikan inflasi sekarang.
Aspek moneter dari inflasi ditangani dengan suku bunga cukup tinggi yang kemungkinan masih akan dinaikkan lagi. Namun, dari sisi ekonomi riil, pasokan pangan dan energi belum diatasi dengan memuaskan. Begitu pula, rantai pasokan (supply chain) masih menjadi permasalahan. Apalagi penyebab lain, perang Rusia-Ukraina, berkelanjutan. Ketegangan geopolitik juga mengalami peningkatan.
Mengatasi permasalahan ekonomi semestinya menggunakan pendekatan pragmatik saja, yang dapat dijalankan dengan baik secara nyata. Teori ekonomi berperan membantu menjelaskan keadaan, bukan untuk mengatasinya. Menaikkan suku bunga berlebihan dalam waktu singkat ternyata kurang efektif untuk menurunkan inflasi pada saat masalah ekonomi riilnya tak ditangani secara memadai.
Apalagi dengan meningkatnya ketegangan geopolitik bersamaan dengan melemahnya perekonomian dunia. Keadaan ini membuat perkembangan ekonomi riil yang produktif justru terhambat perkembangannya. Ibarat pesawat canggih berbadan besar, pengendali pesawat (ekonomi) AS bukanlah pilot (presiden), melainkan navigatornya (bank sentral).
Praktis sejak krisis keuangan 2008, pengendali ekonomi AS adalah The Fed, dengan menetapkan suku bunga terlalu rendah dalam waktu lama, dan sekarang menaikkan suku bunga tinggi dengan secepatnya.
Target inflasi 2 persen untuk negara maju terlalu kaku. Mestinya angka ini tidaklah jadi tujuan, tetapi arahan. Angkanya semestinya dibuat lebih realistis disesuaikan dengan keadaan. Bagaimanapun, penciptaan kesempatan kerja dan pertumbuhan ekonomi lebih penting bagi masyarakat kebanyakan.
Untuk mencapainya sedapat mungkin dengan pengembangan ekonomi produktif yang tentu tak memicu inflasi permanen. Untuk mengatasi inflasi yang telanjur tinggi, pendekatan ekonomi riil yang semestinya ditekankan, bukan pendekatan moneter yang dominan dan jadi andalan. Begitu pula untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pendekatannya lebih pada pengembangan ekonomi riil yang produktif, bukan pendekatan moneter dengan bunga terlalu rendah yang kebablasan.
Mengendalikan inflasi
Kebijakan mengendalikan inflasi di Indonesia bersifat pragmatis, bagaimana inflasi terkendali dengan kombinasi kebijakan ekonomi riil, kebijakan moneter yang akomodatif, dan tindakan administratif, terutama dalam pengendalian kebutuhan barang pokok dan energi yang untuk inflasi adalah sensitif. Dengan suku bunga kebijakan 5,75 persen, inflasi 5,3 persen, maka suku bunga riil positif.
Ini lebih baik dari negara maju yang inflasinya lebih tinggi daripada suku bunga sehingga suku bunga riil negatif. Pertumbuhan ekonomi sekitar 5 persen cukup kondusif. Permasalahannya ada pada nilai tukar rupiah yang banyak ditentukan perbedaan antara suku bunga di Indonesia dan di AS untuk cukup positif.
Bagi penentu kebijakan dalam mengendalikan inflasi, pendekatan ekonomi riil dan langkah administratif lebih baik daripada pendekatan moneter mengikuti kenaikan suku bunga The Fed dengan efektivitas meragukan. Karena itu, peningkatan produksi dan perbaikan distribusi pangan dan energi lebih diutamakan. Langkah administratif, seperti subsidi pangan dan energi dan kewajiban domestik (domestic obligation) komoditas pangan dan energi tertentu, perlu dilakukan, tentu saja disesuaikan perkembangan dunia usaha dan anggaran.
Bagi penentu kebijakan dalam mengendalikan inflasi, pendekatan ekonomi riil dan langkah administratif lebih baik daripada pendekatan moneter mengikuti kenaikan suku bunga The Fed dengan efektivitas meragukan.
Stabilitas rupiah
Kemungkinan masih berlanjutnya kenaikan suku bunga The Fed membuat ketidakpastian dalam menentukan kebijakan. Ditambah perang Rusia-Ukraina yang juga berkelanjutan. Jika The Fed akan menaikkan suku bunga sampai sekitar 5,5 persen seperti diperkirakan analis, maka perbedaannya dengan suku bunga kebijakan BI semakin rentan. Tekanan pada rupiah akan kembali meningkat sehingga BI terpaksa juga harus menaikkan lagi suku bunga kebijakan.
Sebagaimana juga dalam mengendalikan inflasi, untuk menjaga stabilitas rupiah, langkah administratif perlu dilakukan. Peraturan pemerintah mengharuskan penerimaan dollar eksportir dibawa ke dalam negeri untuk menambah pasokan. Alasan eksportir menaruh dollarnya di luar negeri adalah kemudahan dalam transaksi dan bunga dollar di luar negeri juga telah dinaikkan.
Tambahan lagi, pasar dollar di dalam negeri kurang bervariasi dengan terbatasnya instrumen. Langkah administratif ini tentu harus sebisa mungkin tak menambah beban dan biaya eksportir. Upaya pendalaman pasar dollar juga harus dilakukan.
Menjaga pertumbuhan
Kesempatan kerja dan pertumbuhan ekonomi juga jadi tanggung jawab bank sentral, tidak hanya mengendalikan inflasi dan stabilitas mata uang.
Di sinilah kepiawaian dan pragmatisme dalam merumuskan, memutuskan, dan menjalankan kebijakan. Kebijakan ekonomi yang terintegrasi dan sinergi moneter dan fiskal (bahkan dengan sektoral) lebih baik daripada sekadar konsistensi menerapkan teori moneter berupa target inflasi, dan fiskal berupa defisit rendah, serta menyerahkan perkembangan ekonomi pada mekanisme pasar.
Dalam pesawat (ekonomi), peran pilot (presiden), kopilot (menkeu) yang pada praktiknya lebih banyak mengendalikan pesawat, dan navigator (bank sentral) harus dalam koordinasi yang baik, terutama dalam menghadapi turbulensi karena cuaca (ekonomi dunia dan geopolitik) mengalami pemburukan. Begitu pula peran awak pesawat (menteri) dalam memberikan pelayanan (publik) yang baik dan aman.
Pilot tak bisa memaksakan untuk menerbangkan pesawat tanpa memperhatikan arahan navigator, apalagi dalam cuaca yang sulit diperkirakan. Navigator juga tak berpretensi perkiraan cuacanya selalu benar dan dapat diandalkan. Apalagi berpretensi mengambil alih kepemimpinan (ekonomi) bertumpu pada model dan teorinya yang dalam praktik banyak ketidaksesuaian dengan kenyataan.
Dengan demikian, penumpang (pelaku usaha dan konsumen) pesawat (ekonomi) punya tingkat kepercayaan cukup tinggi untuk mencapai tujuan dengan selamat dan aman.
Pesawat (ekonomi) Indonesia terbang (cruising) dengan kecepatan (pertumbuhan) yang sepadan sekitar 5 persen, sekalipun menghadapi turbulensi (ekonomi dunia dan geopolitik). Koordinasi antara pilot, kopilot, navigator, dan awak pesawat berjalan cukup baik. Penumpang juga punya keyakinan cukup tinggi untuk terbang sekalipun dalam turbulensi (sebelumnya pandemi, sekarang pelemahan ekonomi dunia dan ketegangan geopolitik). Pragmatisme bukan teori yang sebaiknya menjadi arahan untuk mengembangkan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
Artikel ini pertama kali dipublikasikan oleh Harian KOMPAS pada 28 Februrari 2023 dan bisa diakses di: https://www.kompas.id/baca/opini/2023/02/27/pragmatisme-ekonomi
Komentar