Acara Webinar Expecting a New ASEAN Milestone for the Myanmar Crisis under Cambodia's ASEAN Chairmanship yang telah dilaksanakan pada Senin, 25 April 2022 di Kanal Youtube The Habibie Center diliput oleh Harian KOMPAS ke sebuah artikel berjudul "Penanganan Krisis Myanmar Lambat, tetapi Ada Kemajuan" Untuk artikel selengkapnya, silakan lihat di bawah:
Penanganan Krisis Myanmar Lambat, tetapi Ada Kemajuan
Di tengah krisis global akibat invasi Rusia ke Ukraina, jangan lupakan krisis yang masih berlangsung di Myanmar. Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara atau ASEAN hendaknya bergerak lebih cepat dan intensif guna memastikan adanya dialog damai dengan semua pemangku kepentingan di negara tersebut.
"Sejauh ini, kesan yang diperoleh masyarakat sipil Myanmar terhadap kinerja ASEAN ialah business as usual (berjalan seperti biasa). Padahal, di lapangan ada isu keamanan dan kemanusiaan yang tidak bisa ditunda," kata Penasihat Menteri Hak Asasi Manusia Pemerintah Persatuan Myanmar (NUG) Aung Kyaw Moe dalam seminar daring yang diadakan oleh The Habibie Centre (THC), Senin (25/4/2022).
Seminar tersebut membahas mengenai kemajuan penanganan krisis Myanmar oleh ASEAN di bawah kepemimpinan Kamboja.
Aung Kyaw Moe berpendapat, lima poin konsensus yang diambil para pemimpin ASEAN pada 24 April 2021 tidak efektif. Alasannya ialah tidak ada kejelasan mengenai cara dan waktu untuk pelaksanaannya. Selain itu, konsensus tersebut juga tidak memiliki indikator keberhasilan untuk setiap tahap yang diambil.
Lima konsensus pemimpin ASEAN mencakup penghentian segera kekerasan di Myanmar, perlunya dialog konstruktif menuju solusi damai, penunjukan utusan khusus sebagai mediator dialog, bantuan kemanusiaan, dan kunjungan utusan khusus dan delegasi ASEAN ke Myanmar.
Oleh sebab itu, Aung Kyaw Moe mengusulkan agar ASEAN memikirkan langkah-langkah alternatif untuk menangani persoalan Myanmar. Ia menjelaskan, masyarakat Myanmar sangsi dengan amanat konsensus mengenai pelaksanaan pemilihan umum. Ini karena pemilu yang diadakan oleh junta militer atau Tatmadaw dianggap justru meligitimasi keberadaan mereka sebagai pemerintah, padahal Tatmadaw berkuasa melalui kudeta.
"Sebaiknya, utusan khusus ASEAN jangan bergantung kepada ketua ASEAN saat itu karena jabatan ketua akan berganti setiap tahun. Harus ada utusan khusus yang terus menangani isu Myanmar ini meskipun keketuaan ASEAN berpindah," tutur Aung Kyaw Moe.
Aung Kyaw Moe mengeluhkan kegagalan Utusan Khusus ASEAN Erywan Yusof yang diangkat ketika Brunei Darussalam mengetuai ASEAN tahun 2021. Ia juga menyesalkan langkah Perdana Menteri Kamboja Hun Sen pada tahun 2022 yang tidak mengajak pihak-pihak lain untuk berdialog ketika mengunjungi Myanmar. Utusan khusus hanya bertemu dengan Tatmadaw. NUG dan perwakilan dari kelompok etnis minoritas tidak dilibatkan dengan alasan Tatmadaw tidak memfasilitasi pertemuan dengan mereka.
Tanpa pelibatan semua pihak, bantuan kemanusiaan untuk masyarakat Myanmar tidak akan sampai kepada mereka yang membutuhkan. Dalam paparannya, peneliti isu ASEAN THC, Luthfy Ramiz, menjabarkan data bahwa sejak Tatmadaw mengudeta pemerintahan Myanmar yang dipimpin Aung San Suu Kyi pada Februari 2021, ada 1.500 orang yang tewas karena berunjuk rasa menolak perebutan kekuasaan itu.
Kerugian lain ialah ada 11.838 pengunjuk rasa yang ditangkap oleh junta militer, 405.700 orang kehilangan tempat tinggal, dan ada 6,2 juta penduduk yang membutuhkan bantuan kemanusiaan segera. Bahkan, vaksinasi Covid-19 pun juga terhalang.
Menanggapi pernyataan Moe, peneliti senior dari Universitas Chulalongkorn, Thailand, Kavi Chongkittavorn, menerangkan, ASEAN tetap akan berpegang kepada lima poin konsensus. ASEAN berbeda dari organisasi-organisasi berkekuatan global lainnya yang bisa sewaktu-waktu membatalkan keputusan mereka. Sejak ASEAN berdiri, organisasi ini selalu teguh melaksanakan keputusan hingga tuntas.
"Sebelum kita memulai berbagai dialog dengan semua pihak, harus ada jaminan dulu dari Tatmadaw bahwa mereka akan membuka akses kepada bantuan internasional. Ini tidak hanya sebatas menerima obat-obatan, pangan, dan dana, tetapi juga menjamin bahwa para pekerja kemanusiaan dari luar negeri yang datang ke masyarakat sipil tidak akan diserang," tuturnya.
Pendapat serupa juga diutarakan oleh Direktur Eksekutif Asian Vision Institute - sebuah lembaga riset di Kamboja - Chheang Vannarith. Ia menekankan bahwa mengisolasi salah satu pihak terkait, dalam hal ini Tatmadaw, bukan solusi. Bahkan, ketika Afghanistan diambil alih oleh Taliban pada Agustus 2021, semua pihak yang mencakup negara-negara Barat tetap mengutamakan dialog dengan mereka.
Vannarith menjelaskan, perkembangan penerapan lima poin konsensus ASEAN memang lamban. Namun, ini tidak sepenuhnya berarti buruk selama pendekatan ke semua pihak terus dilakukan. Inisiatif ataupun political will harus tumbuh secara organik di dalam setiap pihak, bukan karena diminta oleh pihak luar.
"Saat ini, semua pihak di Myanmar belum siap untuk duduk bersama dan berunding. Tidak ada seorang pun yang bisa memaksa mereka untuk segera rapat. Kita sebagai pihak ketiga memang harus bersabar dan menunggu. Kewajiban kita ialah terus membujuk dan meyakinkan mereka ada forum yang netral untuk membahas masa depan Myanmar," ujar Vannarith.
Menurut dia, sudah ada kemajuan dengan perundingan tripartit antara Ketua ASEAN 2021 Brunei Darussalam, Ketua ASEAN 2022 Kamboja, dan Ketua ASEAN 2023 Indonesia. Trio ini juga akan menggelar rapat lebih lanjut dengan Tatmadaw sebelum bisa mendekati pihak lain di Myanmar.
Artikel ini pertama kali diposting oleh Harian KOMPAS pada tanggal 2 Juni 2022 dan bisa ditemukan di: https://www.kompas.id/baca/internasional/2022/04/25/penanganan-krisis-myanmar-lambat-tetapi-ada-kemajuan?utm_source=kompasid&utm_medium=whatsapp_shared&utm_content=sosmed&utm_campaign=sharinglink
Komentar