Acara Webinar on "Navigating through Uncertainties: Restoring Peace and Stability in Korean Peninsula" yang telah dilaksanakan pada Senin, 22 November 2020 diliput oleh Harian KOMPAS ke sebuah artikel berjudul "Mewujudkan Perdamaian Korea Tak Harus Berarti Penyatuan Utara-Selatan" Untuk artikel selengkapnya, silakan lihat di bawah:

Mewujudkan Perdamaian Korea Tak Harus Berarti Penyatuan Utara-Selatan

Upaya perdamaian antara Korea Utara dan Korea Selatan terus berlangsung. Indonesia sebagai negara yang memiliki hubungan diplomasi dengan kedua Korea selalu siap sedia menjadi jembatan perdamaian dan penyatuan kembali kedua belah pihak. Akan tetapi, berdasarkan perkembangan terakhir, isu penyatuan dua Korea kini ternyata tidak lagi menjadi inti dari perdamaian dan kestabilan Semenanjung Korea.

Fakta ini terungkap dalam diskusi daring mengenai stabilitas di Semenanjung Korea yang diselenggarakan oleh The Habibie Centre beserta Kedutaan Besar Korea Selatan di Jakarta, Senin (22/11/2021). Hadir dalam diskusi itu Duta Besar Korea Selatan untuk Indonesia Park Tae-sung, Duta Besar Indonesia untuk Korea Utara Berlian Napitupulu, Direktur Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri RI Abdul Kadir Jaelani, Direktur Institut Nasional untuk Persatuan Korea (KINU) Lee Sang-sin, dan Direktur Jenderal Persatuan Korea Kementerian Luar Negeri Korea Selatan Rim Kap-soo.

Dalam diskusi tersebut, Park memuji komitmen Indonesia terus mengampanyekan denuklirisasi Korea demi keamanan kawasan.

Terkait ide penyatuan dua Korea, berdasarkan survei yang dilakukan KINU, terungkap bahwa mayoritas penduduk Korea Selatan kini tidak berminat kepada konsep Korea bersatu. Jajak pendapat ini dilakukan terhadap penduduk Korea Selatan berusia di atas 18 tahun.

"Ada pergeseran nilai nasionalisme. Bagi generasi muda, seperti kaum milenial, nasionalisme tidak lagi berarti hanya boleh satu Korea. Mereka beranggapan bahwa keamanan dan keselamatan Semenanjung Korea lebih penting. Korea Utara dan Selatan sama-sama bisa menjadi dua negara berbeda asal tidak saling mengintimidasi," papar Direktur KINU Lee Sang-sin.

Menurut Lee, generasi tua masih bertahan pada impian Korea bersatu karena memiliki pengalaman Perang Korea 1950-1953. Sanak saudara menjadi terpisah ketika Semenanjung Korea terbelah menjadi dua negara. Utara berhaluan sosialis, sedangkan Selatan merupakan negara demokratis serta kapitalis.

Bagi Korea Selatan, syarat membangun kepercayaan dan perdamaian ialah pelucutan berbagai program nuklir yang dikembangkan oleh Korea Utara. Akan tetapi, hal ini diperkirakan masih jauh dari kenyataan. Terakhir kali pembahasan mengenai program nuklir Korea Utara adalah dalam pertemuan antara Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump di Hanoi, Vietnam, pada 2019.

Dialog itu berakhir dengan kebuntuan. Korea Utara tidak mau mengurangi program nuklir mereka. "Kegagalan pertemuan ini membuat masyarakat Selatan pesimistis dengan niat Utara. Akan tetapi, di saat yang sama, Korea Selatan beranggapan dalam lima tahun ke depan hubungan Utara-Selatan tetap sama, tidak bertambah baik ataupun buruk," ujar Lee.

Generasi muda di Selatan lebih tertarik kepada isu membangun hubungan erat dengan negara-negara lain di kawasan Asia Pasifik. Justru, apabila Utara dan Selatan bersatu, akan terjadi lebih banyak ketidakpastian mengingat perbedaan ideologi kedua negara. Apalagi, Korea Selatan menikmati pertumbuhan ekonomi yang pesat sehingga, jika bergabung dengan Korea Utara, masyarakat mengkhawatirkan akan melambatkan pembangunan. Hal terpenting bagi mereka terkait Korea Utara ialah tetap mengedepankan dialog.

Mental peperangan

Pendapat serupa juga dikemukakan Direktur Jenderal Perdamaian Semenanjung Korea Kementerian Luar Negeri Korea Selatan Rim Kap-soo. Ia menerangkan bahwa, di atas kertas, Perang Korea berakhir pada 1953. Akan tetapi, kenyataannya adalah hingga sekarang rakyat kedua Korea masih berpegang kepada mental berperang terhadap satu sama lain. Hal ini yang mengakibatkan ketidakpercayaan antara Utara dan Selatan.

Semenanjung Korea merupakan wilayah kekuasaan Jepang yang di akhir Perang Dunia II pada 1945 diserahkan untuk dikelola AS dan Uni Soviet. Seiring dengan perkembangan politik dan Perang Dingin, kedua wilayah, utara dan selatan, berkembang menjadi dua entitas merdeka.

Permasalahannya, Pemerintah Korea Selatan yang didukung AS ataupun Korea Utara yang didukung Uni Soviet sama-sama menganggap dirinya sebagai Republik Korea yang sejati. Perbatasan antara Utara dan Selatan dianggap tidak sah. Ini yang mengakibatkan pihak utara kemudian menyerbu selatan dengan maksud merebut pemerintahan dan melesapkannya ke dalam kekuasaan Kim Il Sung.

Perang berakhir pada Juli 1953 bukan karena keputusan berdamai, melainkan karena adanya perjanjian gencatan senjata yang dipelopori oleh AS dan China. "Akibat tidak adanya perjanjian perdamaian antarkedua Korea, mental rakyat kedua negara sampai sekarang masih menganggap ini situasi berperang, bedanya bukan dengan senjata, tetapi ideologi," papar Rim.

Selain itu, juga ada keterlibatan negara-negara lain, seperti AS dan China, dalam pembahasan isu Semenanjung Korea. Oleh sebab itu, pembahasan persatuan Korea juga harus melibatkan kedua negara tersebut. "Jika memang akan terjadi persatuan, perjanjiannya tidak hanya ditandatangai oleh Utara dan Selatan, tetapi mencakup AS dan China. Mungkin pada kapasitas tertentu juga melibatkan Rusia," tutur Rim.

Pembahasan multilateral ini harus berlandaskan kepercayaan semua pihak. Ini juga menyaratkan berhentinya kebiasaan saling menyalahkan yang oleh Rim dijelaskan selama ini terjadi tidak hanya antar-Korea, tetapi juga negara-negara yang mendukung mereka. Misalnya, persaingan sengit antara AS dan China juga tidak bisa dikesampingkan ketika membahas isu Semenanjung Korea.

Direktur Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri Abdul Kadir Jaelani dalam pidato penutupan mengatakan, Indonesia tidak akan memaksakan persepsinya terhadap Semenanjung Korea. Sebagai mediator, Indonesia menyerahkan konteks pembahasan masalah kepada dua negara terkait, yaitu Korea Utara dan Korea Selatan.

"Ini adalah pekerjaan besar yang harus kita lakukan. Caranya dengan belajar dari pengalaman dan menyiapkan langkah ke depan," katanya.

[Artikel ini pertama kali diposting oleh Harian KOMPAS pada tanggal 23 November 2021 dan bisa ditemukan di: https://www.kompas.id/baca/internasional/2021/11/23/mewujudkan-perdamaian-korea-tak-harus-berarti-penyatuan-utara-selatan/]

Share
Ingin mendapatkan informasi aktifitas The Habibie Center?