Mewaspadai Kelindan Ancaman Teroris dan Elite Politik dalam Pemilu 2024
Ancaman aksi kelompok terorisme menjadi tetap krusial diwaspadai di tengah pemungutan suara Pemilihan Umum 2024 yang tinggal hitungan minggu. Meski terhitung sejak 2023 ancaman teror terasa mulai meredup, kelompok-kelompok teror terus bergerak membangun sel mereka di bawah tanah.
Di sisi lain, elite politik pun harus mengambil peran untuk menjaga suasana tetap kondusif. Dengan demikian, potensi konflik di masyarakat akibat berbeda pilihan dapat diantisipasi. Hal ini mengingat ada beberapa kelompok terorisme yang memanfaatkan kekacauan di masyarakat untuk melancarkan terornya.
Meredupnya aksi teror di dalam negeri mulai terindikasi sejak 2022. Sepanjang tahun itu, aksi teror di Indonesia tercatat terendah sejak 2014, yakni hanya tujuh serangan teror, lebih rendah dibandingkan pada 2021 dengan 24 kasus. Memasuki 2023, tak terjadi aksi teror.
Hingga akhir 2023, Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri masih menangkap 142 tersangka teroris dari sejumlah kelompok.
Meski demikian, hingga akhir 2023, Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri masih menangkap 142 tersangka teroris dari sejumlah kelompok. Rinciannya, 29 orang berasal dari Jamaah Ansharut Daulah, 50 orang dari Jamaah Islamiyah, 49 orang bagian dari kelompok pimpinan tersangka teroris Abu Omar, 5 tersangka dari Negara Islam Indonesia, 7 orang dari kelompok Jamaah Ansharusy Syariah, serta 2 orang mantan anggota Front Pembela Islam yang menjadi pendukung Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS/ISIS).
Penangkapan sejumlah tersangka teroris itu mengindikasikan kelompok-kelompok teror terus bergerak membangun jaringan. Pola-pola serangan yang pernah terjadi di dalam negeri tetap perlu dicermati.
The Habibie Center melalui artikel "Kajian Kontra Terorisme dan Kebijakan" (2019) mencatat, sepanjang pelaksanaan Pemilu 2004 terjadi empat kali aksi terorisme yang mengakibatkan 17 orang tewas dan 208 orang cedera. Sebagian besar insiden terorisme yang terjadi sepanjang Pemilu 2004 menyasar tempat ibadah, khususnya di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah (Poso).
Pada saat itu terjadi aksi teror yang, meski tidak terkait langsung, berdampak pada pemilu. Salah satunya adalah aksi bom bunuh diri di depan Kedutaan Besar Australia di Jakarta pada 9 September 2004 yang mengakibatkan 10 orang tewas dan 182 lainnya cedera.
Dampak insiden tersebut terhadap Pilpres 2004 antara lain buruknya citra pemerintah yang saat itu dipimpin Megawati Soekarnoputri. Insiden itu juga menyebabkan konsentrasi aparat keamanan terpecah antara pengamanan pemilihan presiden dan penyelesaian kasus bom bunuh diri di depan Kedutaan Australia.
Berpengaruh terhadap elektabilitas
Aksi teror tersebut rupanya berpengaruh terhadap elektabilitas pasangan calon presiden-wakil presiden. Hasil survei Lembaga Survei Indonesia yang dilakukan pada 10-12 September 2004 menunjukkan, tingkat keterpilihan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla (JK) meningkat dibandingkan pasangan Megawati Soekarno Putri-Hasyim Muzadi. Disebutkan bahwa penilaian terhadap pasangan SBY-JK semakin positif karena muncul harapan mengenai keamanan dan ketertiban yang lebih baik dibandingkan pemerintah saat itu.
Lima tahun berikutnya, pada Pemilu 2009 tidak terjadi aksi teror terkait pemilu. Berdasarkan data Global Terrorism Database, sepanjang Januari hingga Juli 2009 hanya terdapat satu insiden pelemparan bom molotov ke Kedutaan Besar Mesir pada Januari 2009. Peristiwa itu tidak ada kaitan dengan pelaksanaan Pemilu 2009.
Menjelang Pemilu 2014, sepanjang Januari-Juli 2014, tercatat lima insiden terorisme yang mengakibatkan satu orang tewas. Sasaran aksi teror tersebut adalah aparat kepolisian. Pada waktu itu ditengarai terjadi perubahan pola dan sasaran aksi teror yang sebelumnya menyasar fasilitas atau terkait kepentingan asing, seperti bar atau kafe, hotel, dan restoran, berubah menjadi aparat kepolisian.
Namun, aksi teror yang terjadi sepanjang 2014 tidak berdampak signifikan pada Pemilu 2014. Alasannya, SBY selaku presiden tidak mencalonkan diri sehingga citra pemerintah yang rentan terhadap teror tidak dapat dibebankan kepadanya. Alasan lain, waktu terjadinya insiden teror jauh dari jadwal pencoblosan.
Pada 2019, terjadi setidaknya enam serangan teroris. Salah satunya adalah peledakan bom saat debat capres berlangsung. Selain itu, terdapat ancaman berupa serangan bom saat pengumuman hasil Pilpres 2019 pada 22 Mei 2019.
Pada 2019, terjadi setidaknya enam serangan teroris. Salah satunya adalah peledakan bom saat debat capres berlangsung.
Sebagai paham radikal yang menggejala secara global, terorisme juga menjadi ancaman bagi pemilu di sejumlah negara. Filipina, salah satu negara tetangga Indonesia ini, contohnya, pada 2001 pernah mengalami serangan teror oleh kelompok New People's Army (NPA) of the Communist Party yangbertanggung jawab atas 23 kematian terkait pemilihan. Selain itu, kelompok Moro Islamic Liberation Front (MILF) bertanggung jawab atas tujuh dari 98 kematian.
Aksi teror di di Filipina ini berupa pembunuhan, penculikan, penyerangan fisik dalam kampanye, serta perusakan bangunan. Tujuan utama terorisme melancarkan aksi saat pemilu di Filipina adalah menghancurkan otoritas dan legitimasi negara.
Serangan teroris menjelang pemilu juga terjadi di Pakistan pada 2018. Setidaknya terdapat tujuh serangan teror yang mengakibatkan 212 orang tewas sepanjang pelaksanaan Pemilu 2018 di Pakistan. Serangan teror tersebut ditujukan untuk menghambat atau menunda pelaksanaan pemilu secara keseluruhan.
Dalam sebuah seminar, Selasa (16/1/2024), Kepala Satuan Tugas Wilayah DKI Jakarta Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri Komisaris Besar Dhany Arie Fianto mengingatkan bahwa ancaman teroris selalu ada meskipun aksi dari kelompok teroris menurun. Sebab, mereka bergerak di bawah tanah dan tidak bisa dipantau masyarakat secara kasatmata.
Terbukti, Densus 88 Antiteror Polri meringkus puluhan tersangka teroris kelompok Abu Omar pada Oktober 2023. Kelompok tersebut telah memiliki rencana melakukan aksi teror untuk mengganggu Pemilu 2024.
Menurut Dhany, setiap tahapan pemilu memiliki kerawanan tersendiri. Semisal, pada masa kampanye selama 75 hari, aksi teroris bisa dilakukan di mana saja. Sementara pada saat pencoblosan dan penghitungan suara, kerawanan terjadi di kantor-kantor Komisi Pemilihan Umum.
Setelah itu, kerawanan berpindah ke Mahkamah Konstitusi (MK), yakni ketika dilaksanakan sidang terkait sengketa pemilu. Tidak hanya itu, demonstrasi yang dilakukan pendukung salah satu pihak dapat berujung pada kerusuhan dan ditunggangi kelompok teroris.
"Maka, mari berkolaborasi bersama kami untuk bagaimana meminimalisasi konflik. Politisi jangan menggerakkan massanya untuk dibenturkan karena kelompok radikal akan ikut nimbrung di suasana tersebut,” kata Dhany.
Secara terpisah, Country Director International Association for Counterterrorism and Security Professionals (IACSP) Indonesia Rakyan Adibrata berpandangan, penurunan aksi teror ataupun jumlah tersangka teroris yang ditangkap aparat tidak berarti turunnya risiko ancaman aksi teror. Sebab, setiap kelompok memiliki karakteristik berbeda dalam merencanakan dan melakukan aksi terornya.
Bagi kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang antidemokrasi, mereka akan berupaya untuk mengganggu jalannya pemilu. Namun, pada beberapa waktu terakhir tidak ada perintah dari pimpinan NIIS di Timur Tengah yang memerintahkan dilakukannya amaliah tersebut. Meski demikian, ancaman dari kelompok JAD tetap besar.
style="text-align:center; font-weight:bold;">Jamaah Islamiyah, menurut Rakyan, baru akan beraksi jika terjadi kekacauan atau kerusuhan.
Kelompok teroris lain, yakni Jamaah Islamiyah (JI), menurut Rakyan, baru akan beraksi jika terjadi kekacauan atau kerusuhan. Hal itu sesuai dengan pedoman internal JI yang dibuat Para Wijayanto beberapa tahun lalu dengan memasukkan unsur penciptaan kondisi agar terjadi kerusuhan.
"Karena mendompleng aksi kerusuhan itu jauh lebih gampang. Mengompori orang yang potensi chaos-nya lebih tinggi itu lebih gampang dibandingkan membuat bahan peledak," ujar Rakyan, Selasa (23/1/2024).
Upaya anggota kelompok teroris untuk menunggangi dinamika politik pernah terjadi menjelang pemilihan gubernur DKI Jakarta pada 2017 silam. Dalam kontestasi politik saat itu, terdapat unsur konflik agama. Kemudian, terdapat anggota JI yang mendompleng, termasuk mengikuti demonstrasi. Mereka kemudian ditangkap oleh aparat keamanan. Menurut Rakyan, aksi teror semacam ini lebih sulit diawasi dibandingkan aksi teror berupa penyerangan sebagaimana biasa dilakukan JAD.
Titik rawan lain adalah penyerangan terhadap politisi atau tokoh tertentu. Di Indonesia, peristiwa ini pernah terjadi, yakni penusukan terhadap Wiranto yang menjabat sebagai Menko Polhukam kala itu. Aksi semacam itu berpotensi terulang kembali. Kelompok teroris juga bisa terinspirasi oleh kejadian penyerangan serupa sebagaimana terjadi di Jepang dan Korea Selatan beberapa waktu lalu.
"Potensi konflik itu tidak ada di lapisan atas, tapi di bawah, di masyarakat antarsesama pendukung kontestan pilpres ini. Kalau sampai para elite politik membiarkan api dalam sekam itu muncul di tengah masyarakat demi meraih suara sehingga pecah konflik, maka potensi organisasi teroris seperti JI untuk masuk itu besar," tuturnya.
Di sisi lain, pengamat terorisme dari Universitas Malikussaleh, Aceh, Al Chaidar Abdurrahman Puteh, mengingatkan, potensi gangguan Pemilu 2024 tidak hanya dari organisasi teroris seperti JI dan JAD, tetapi juga organisasi teroris berbasis wilayah. Kelompok tersebut antara lain Mujahidin Indonesia Timur (MIT) dan kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua yang sudah digolongkan sebagai kelompok teroris oleh pemerintah.
Menurut Al Chaidar, meski MIT disebut sudah habis ditumpas aparat keamanan, simpatisan MIT di wilayah Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Barat masih ada. Aksi teror OPM di Papua pun diperkirakan akan menimbulkan gangguan yang signifikan pada Pemilu 2024 mendatang.
Oleh karena itu, Al Chaidar tidak sependapat ketika aparat keamanan menyatakan tidak adanya aksi teror sepanjang 2023. Sebab, OPM sepanjang 2023 telah melakukan beberapa kali aksi teror yang menelan korban jiwa.
"Saya kira ini ancamannya sangat serius. Saya melihat 2024 akan ada serangan yang lebih besar dari Pemilu 2014 dan 2019," katanya.
Pemilu 2024 sudah di depan mata. Harapan kita semua, ancaman teror tidak pernah terjadi.
Artikel ini pertama kali diposting oleh Harian KOMPAS pada tanggal 24 Januari 2024 dan bisa ditemukan di: https://www.kompas.id/baca/polhuk/2024/01/23/mewaspadai-kelindan-ancaman-teroris-dan-elite-politik-dalam-pemilu-2024
Komentar