Acara Seminar Talking ASEAN on "Sailing South: What's Next for Taiwan's New Southbound Policy?" yang telah dilaksanakan pada Kamis, 1 Agustus 2024 di Kanal Youtube The Habibie Center diliput oleh Kompas ke sebuah artikel berjudul "Menggali Potensi Baru New Southbound Policy Taiwan" Untuk artikel selengkapnya, silakan lihat di bawah:
Menggali Potensi Baru New Southbound Policy Taiwan
Ketiadaan hubungan diplomatik Taiwan dengan sebagian besar negara-negara di dunia tidak mengurangi kualitas kerja sama di sektor selain politik dan keamanan. Di Asia Tenggara, kebijakan Taiwan untuk melihat ke selatan memiliki potensi besar untuk merekatkan hubungan antarmasyarakat.
Hal itu mengemuka di dalam seminar mengenai Himpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang diadakan The Habibie Centre di Jakarta, Kamis (1/8/2024). Topiknya mengenai New Southbound Policy (NSP) atau kebijakan Taiwan melihat ke selatan setelah selesainya kepemimpinan Presiden Taiwan Tsai Ing-wen.
"Kebijakan ini bisa dibilang 'diplomasi hangat' ala Taiwan. Kami tidak akan bisa bersaing dengan negara adidaya dari segi kekuatan dan biaya, tetapi Taiwan memiliki banyak pengalaman dan ilmu yang bisa dibagi," kata Alan Yang, Direktur Eksekutif Yayasan Pertukaran Taiwan-Asia (Taiwan-Asia Exchange Foundation/TAEF).
Negara-negara ASEAN termasuk di dalam 18 negara mitra NSP bersama dengan India, Nepal, Bhutan, Pakistan, Australia, dan Selandia Baru. Indonesia masuk ke dalam delapan negara prioritas. Hal ini karena di Taiwan ada 1 juta warga Asia Tenggara. Sebanyak 700.000 orang di antara mereka adalah pekerja migran, sisanya adalah mahasiswa. Angka ini di luar 500.000 warga Asia Tenggara yang menikah dengan warga Taiwan.
Menurut Alan, NSP adalah inti dari kebijakan Indo-Pasifik Taiwan. NSP diterbitkan oleh Presiden Taiwan 2016-2024 Tsai Ing-wen. Perbedaan dari kebijakan melihat ke selatan para presiden sebelumnya ialah NSP tidak hanya menekankan ekonomi dan perdagangan, tetapi juga hubungan antarmasyarakat. Total, ada 11 kementerian/lembaga di Taiwan yang terlibat.
"Ada lima area, yaitu perekonomian, pertanian, kesehatan masyarakat, pendidikan dan pelatihan, serta pelantar demokrasi melalui Forum Yushan," kata Alan yang juga dosen Hubungan Internasional Universitas Nasional Cheng Chi.
Contoh wujud kerja sama ialah penyuluhan petani muda. Dari Indonesia, diwakili para petani dari Kabupaten Karawang, Jawa Barat, yang datang ke Taiwan untuk melihat pola pertanian dan ekonomi agrikultural di sana. Contoh lain adalah pelatihan para anggota pemadam kebakaran di Filipina dan Vietnam mengenai tanggap bencana dan penanganan musibah perkotaan.
Alan menjelaskan, pada tahun 1980-an, Otoritas Taiwan mulai mengembangkan kerja sama dengan negara-negara di selatan. Tujuannya berat pada mengembangkan neraca perdagangan Taiwan dan mengurangi ketergantungan dari pasar China.
Taiwan secara hukum internasional masuk wilayah China, seperti dinyatakan oleh Prinsip Satu China. Akan tetapi, Taiwan memiliki otonomi berupa lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif sendiri. Hubungan Beijing-Taipei bergejolak dengan Beijing kerap menuduh Taiwan ingin melepaskan diri. China berkeberatan apabila ada negara yang secara politik berhubungan dengan Taiwan.
Dari sisi ekonomi, adanya NSP menguntungkan Taiwan karena per 2022 investasi Taiwan di 18 negara mitra lebih besar dibandingkan dengan investasi di pasar China. Keuntungan juga lebih besar. Akan tetapi, bukan itu saja tujuan NSP. Kebijakan itu, menurut Alan, juga upaya Taiwan untuk mengatakan bahwa mereka bisa memberikan lebih kepada dunia selain industri semikonduktor. Saat ini setengah dari semikonduktor global dikuasai Taiwan.
"Harus ada penguatan kerja sama antarlembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, dan pusat-pusat penelitian karena Taiwan dan mitra-mitra NSP memiliki masalah bersama, misalnya perlindungan tenaga kerja, peningkatan kapasitas sumber saya manusia, dan inovasi teknologi," kata Alan.
Dari sisi pengenalan, ia mengatakan, buku-buku pelajaran di Taiwan kini memasukkan materi masyarakat majemuk. Pembahasannya mengenai keberadaan para pekerja migran yang berada di Taiwan, selain untuk bekerja juga memberikan nuansa baru kepada kehidupan sosial Taiwan.
Bukan untuk lomba
Kepala Departemen Hubungan Luar Negeri Universitas Binus Rangga Aditya Elias menjelaskan, kunci kesuksesan NSP ialah penekanan pada hubungan antarmasyarakat. "Hubungan menjadi lebih bermakna karena bukan soal ekonomi ataupun agar Taiwan bisa belomba dengan China," katanya.
Pendekatan langsung kepada masyarakat dengan memprioritaskan kebutuhan masyarakat harus lebih dikembangkan. Rangga menemukan diskursus mengenai Taiwan dan negara-negara mitra NSP belum banyak dibahas di tataran akademik. Mayoritas membahas hubungan Taiwan dengan Amerika Serikat, padahal masyarakat Taiwan dan negara-negara NSP harus saling mengenal.
"NSP ini usaha Taiwan berintegrasi dan berkontribusi kepada kawasan," ujarnya.
Salah satu hal yang belum banyak dijajaki ialah di bidang e-dagang. Bidang ini di Asia Tenggara menghasilkan pendapatan sebesar Rp 1,491 triliun pada 2022. Dari semua itu, 52 persen berasal dari lokapasar Indonesia.
Mayoritas investor asing di lokapasar Asia Tenggara masih dari China, misalnya Tencent, Alibaba, dan Tiktok. Rangga melihat ada ceruk yang bisa diambil Taiwan. Tidak hanya berupa investasi, tetapi bisa juga pendekatan yang langsung menyasar kepada pelaku usaha di berbagai level.
Sementara itu, peneliti isu Taiwan dan ASEAN dari Universitas Western Australia, Ratih Kabinawa, mengatakan, dari persepsi ASEAN, isu keamanan tetap menjadi perhatian. Alasannya karena Selat Taiwan merupakan salah satu titik panas dunia.
Kedekatan Taiwan dengan negara-negara Barat dan cita-cita Presiden China Xi Jinping melakukan reunifikasi membuat banyak terjadi latihan militer besar-besaran di Selat Taiwan. Kekhawatiran ASEAN adalah risiko terpantiknya konflik terbuka sehingga negara-negara Asia Tenggara menyiapkan rencana kontingensi mengungsikan warga mereka di Taiwan.
Cara yang harus diambil ialah memastikan lingkungan Selat Taiwan kondusif untuk keberlangsungan NSP. Salah satunya dengan meningkatkan perlindungan pekerja, terutama di sektor kelautan. Setiap ada kapal nelayan Taiwan yang ditahan oleh China, pasti ada anak buah kapal asal Indonesia di atasnya.
"Sejatinya, Prinsip Satu China adalah area abu-abu yang bisa sangat bermanfaat jika digali dengan benar. Hubungan di luar politik justru jauh lebih menguntungkan apabila dikelola dengan tepat," katanya.
Artikel ini pertama kali diposting oleh Kompas pada tanggal 1 Agustus 2024 dan bisa ditemukan di: https://www.kompas.id/baca/internasional/2024/08/01/menggali-potensi-baru-new-southbound-policy-taiwan
Komentar