Talkshow dan Pemutaran Film "Pelajaran Terpetik dari Program Video Partisipatoris Turning Hate into Love" yang telah dilaksanakan pada Jumat, 13 Mei 2022 di Kanal Youtube The Habibie Center diliput oleh Harian KOMPAS ke sebuah artikel berjudul 'Melalui Video, Meretas Jalan Pulihkan Trauma Konflik dan Diskriminasi' Untuk artikel selengkapnya, silakan lihat di bawah:

Melalui Video, Meretas Jalan Pulihkan Trauma Konflik dan Diskriminasi

Kurniati (43) membentangkan sehelai songket tenun hijau dengan ornamen merah dan emas buatannya. Sambil tersenyum kecil, ia memandangi hasil karya yang memadukan ciri khas beberapa daerah di Kalimantan Barat, mulai dari teknik tenun dari Kabupaten Sambas hingga motif insang dari Kota Pontianak. Perpaduan itu tak hanya menghasilkan kain yang indah, tetapi juga memberikan kedamaian tersendiri bagi perempuan yang berasal dari suku Madura itu.

Sejenak, ingatannya terlempar kembali ke masa silam ketika ia masih tinggal di Kabupaten Sambas, 1999. Saat itu, terjadi konflik antaretnis Madura, Melayu, dan Dayak, yang mengakibatkan ribuan rumah dan kendaraan terbakar, ribuan warga pun meninggal karena menjadi korban kekerasan. Sebagai bagian dari penyintas konflik, Kurniati dan puluhan ribu orang lainnya dipindahkan dari Sambas ke Pontianak.

Di tempat tinggal baru, yakni sebuah jalan yang diberi nama Gang Sambas Jaya, tak mudah bagi warga untuk menerima apa yang telah terjadi. Sebagian dari mereka masih menyimpan dendam pada kejadian yang dirasa tak adil. Sebagian lainnya mengalami trauma atas kekerasan dan kengerian yang berlangsung selama konflik.

Di tengah situasi tersebut, Kurniati dan dua warga perempuan lainnya mencoba untuk mencairkan suasana, terutama di kalangan kaum ibu. Ia mengajak dan mengajari mereka berkegiatan baru, yakni menenun kain songket Sambas yang memang dikenal mahsyur di pasaran.

Meski tidak mudah dan butuh waktu lama, inisiatif itu diterima warga setempat. Gang Sambas Jaya yang semula hanya memiliki tiga penenun berkembang menjadi kampung yang identik dengan profesi tersebut. Pada 2018, Pemerintah Kota Pontianak pun menetapkan gang tersebut sebagai Kampung Wisata Tenun Khatulistiwa.

"Selama ini yang kami tenun adalah kain khas Sambas, sedangkan Pontianak punya ciri khas tersendiri, yaitu kain motif insang. Jadi, kami membuat kain tenun corak insang dikombinasikan dengan songket Sambas," kata Kurniati mencontohkan. Selain itu, masih banyak corak khas wilayah lain yang juga dikombinasikan pada karya-karya yang mereka buat selama lebih dari 20 tahun pascakonflik.

Bagi mereka, menenun berbagai karakteristik daerah merupakan simbol rekonsiliasi antarsuku yang ada di wilayah garis Khatulistiwa. Berbekal pengalaman sebagai penyintas, mereka tak ingin kejadian kelam yang berdampak pada berbagai segi kehidupan masyarakat itu terulang kembali pada generasi mendatang. Lewat simbol kain tenun yang memadukan berbagai ciri dalam satu wadah, mereka berharap agar residu konflik yang masih tersisa benar-benar hilang. Warga pun bisa hidup berdampingan dengan damai dalam bingkai kebinekaan.

"Suku apa pun, kita itu satu. Kita yang Madura, Melayu, Dayak, apa pun sukunya, kita adalah satu bangsa yang tidak saling bermusuhan. Kita seharusnya hidup dengan damai," ujar Kurniati.

Ungkapan pengalaman dan pandangan Kurniati merupakan bagian dari film berjudul "Perempuan Penenun Perdamaian", salah satu dari 12 film yang digarap dengan video partisipatoris dalam proyek "Turning Hate into Love" oleh The Habibie Center. Sebanyak enam dari 12 film itu diputarkan sekaligus didiskusikan secara daring dalam gelar wicara "Pelajaran Terpetik dari Program Video Partisipatoris Turning Hate into Love"

Sebelumnya, The Habibie Center melatih 12 anak muda untuk menjadi fasilitator pembuatan video partisipatoris dari beberapa kelompok masyarakat rentan, seperti minoritas, korban diskriminasi, konflik, dan kekerasan. Fasilitator berperan melatih dan mengorganisasikan warga untuk bisa membuat video yang mengungkapkan pengalaman pahit mereka sendiri.

Video yang dibuat diharapkan bisa menjadi media bagi kelompok rentan untuk bersuara serta mengubah stigma yang melekat pada mereka. Apalagi, saat ini ujaran kebencian terhadap mereka marak tersebar di media sosial dan terus berkembang di dunia nyata. "Harapannya, orang-orang yang semula tidak senang pada kelompok tertentu bisa mengubah kebencian menjadi kasih sayang dan empati karena sudah lebih mengenal kelompok tersebut," kata Julia Novrita, Direktur Program dan Pengembangan The Habibie Center.

Platform bersuara

Sopian Lubis, fasilitator pembuatan video "Perempuan Penenun Perdamaian", mengakui, tidak mudah untuk mengajak kelompok rentan mengungkapkan ekspresinya. Selain masih ada trauma dalam diri, butuh waktu dan kemampuan khusus dalam meyakinkan bahwa warga bukan sekadar diobyektifikasi sebagai bahan cerita untuk dijual, melainkan benar-benar mengungkapkan kondisi mereka. "Awalnya sulit sekali mengorganisir masyarakat untuk membuat video bersama, apalagi untuk meyakinkan bahwa ini merupakan video kita bukan video saya," katanya.

Sopian menambahkan, kesepakatan tercapai ketika warga menyadari tujuan pengungkapan kondisi mereka tidak semata-mata bertujuan untuk mengekspos keberadaan mereka. Melalui publikasi, mereka justru bisa memberitahukan bahwa di Kalimantan Barat masyarakat tidak identik dengan persoalan konflik antarsuku, tetapi bisa melewati, bahkan melampauinya, dengan berkarya.

Pengalaman serupa juga dirasakan Doni Chairullah saat memfasilitasi pembuatan video "Mata dari Ahmadiyah". Ia mengajak jemaah Ahmadiyah mendokumentasikan kegiatan kemanusiaan yang mereka gencarkan sejak dekade 1980-an, yakni mendonorkan kornea mata. Hingga saat ini, tercatat ada 6.800 orang yang mendaftarkan diri untuk mendonorkan matanya.

Mereka juga memiliki relawan yang bertugas menjalankan operasi pengangkatan kornea mata untuk didonorkan. Proses tersebut kerap kali memunculkan kisah kemanusiaan tersendiri.

Selama ini, kata Doni, jemaah Ahmadiyah mendapatkan stigma sebagai pengikut aliran sesat sehingga kerap mengalami diskriminasi. Bahkan, dalam proses pembuatan video pun terjadi persekusi di Kota Mempawah, Kalimantan Barat. Oleh karena itu, butuh waktu untuk membangun persepsi yang sama.

Namun, ketika persepsi sudah terbangun, proses kerja sama menjadi begitu cepat. Pembagian peran, dukungan data, dan narasumber pun berjalan sangat lancar. "Mereka senang karena setidaknya mereka memiliki platform untuk bersuara. Sebab, tidak banyak media mainstream yang berbicara (tentang Ahmadiyah) dalam perspektif korban," kata Doni.

Nabillah Saputri Djaelani, fasilitator para transpuan dari Yayasan Srikandi Sejati, Jakarta, menceritakan, videonya berupaya mengungkap persoalan akses pekerjaan formal yang hampir tertutup bagi para transpuan. Meski memiliki kompetensi yang dibutuhkan, instansi atau perusahaan cenderung menolak mereka dengan alasan jender. Padahal, para transpuan membutuhkan pekerjaan untuk bertahan hidup karena umumnya mereka sudah keluar dari rumah sejak usia muda karena dianggap memalukan keluarga.

Proyek pembuatan video partisipatoris ini, katanya, menjadi salah satu ruang bagi transpuan untuk membuktikan kemampuannya dalam sebuah bidang. "Video juga bisa ditonton bersama dengan keluarga, membuktikan bahwa mereka bisa punya pekerjaan," ujar Nabillah yang juga seorang transpuan.

Edukasi publik

Menurut Arina Rahmatika, fasilitator pembuatan video "Udar Rasa Perempuan Penghayat", mengatakan, video partisipatoris ini juga menjadi sarana edukasi publik. Menurut dia, meski pemerintah mengakui status penghayat pada 2017 dan mulai bisa mencetak kartu tanda penduduk dengan status agama penghayat pada 2019, belum banyak masyarakat yang mengetahui tentang dunia penghayat kepercayaan. Oleh karena itu, ia pun menginisiasi pembuatan video yang berkisah tentang cerita tiga perempuan yang memutuskan menjadi penghayat kepercayaan lokal.

Ketika beberapa pihak mengetahuinya, ia pun diajak memutarkan dan mendiskusikan film tersebut dalam sebuah forum diskusi di Masjid Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. "Jadi, bisa membuka dialog antara kami masyarakat awam dan para penghayat," katanya.

Sementara itu, Ghassani Auliannisa W yang memfasilitasi warga Desa Sumbercandik, Kabupaten Jember, Jawa Timur, dalam pembuatan video "Siri di Sumbercandik", mengatakan, dokumentasi pengalaman para perempuan korban pernikahan dini juga menjadi penggugah bagi perempuan setempat. Meski hingga saat ini kehidupan perempuan di desa itu masih didominasi dengan pernikahan dini dan pekerjaan domestik, keinginan kaum perempuan untuk bebas dari belenggu struktural itu mulai terkuak.

"Para ibu berharap video ini bisa menjadi bahan kampanye yang edukatif supaya anak perempuan di bawah 17 tahun ke depan bisa terus mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang layak," kata Ghassani.

Pengajar antropologi visual UGM, Zamzam Fauzanafi, mengatakan, video partisipatoris pada hakikatnya merupakan mekanisme yang memberikan kesempatan kepada komunitas yang didampingi untuk berbicara, menunjukkan sikap, dan berpendapat tentang apa yang terjadi pada mereka. Adapun para fasilitator merupakan pihak yang membawa teknologi dan kemampuan mengorganisasikan komunitas tersebut untuk bisa bersuara. Oleh karena itu, tidak heran jika proses pembuatan video kerap jauh lebih penting ketimbang hasilnya.

Dari pembuatan video partisipatoris, tambahnya, setidaknya ada tiga tujuan yang bisa dicapai. Pertama, advokasi suara kelompok rentan agar terdengar serta memunculkan empati dari pihak yang mendengar. Kedua, memberdayakan kelompok rentan agar memiliki kepercayaan diri dan mengorganisasikan kerja kolektif. "Terakhir, ini juga bisa berfungsi terapeutik, dengan interaksi antarsesama anggota komunitas dan fasilitator diharapkan mereka bisa mengatasi masalah yang dihadapi lalu menyuarakan hal positif untuk mengubahnya," tutur Zamzam.

Hidup bebas dari konflik dan diskriminasi akibat perbedaan suku, agama, ataupun antargolongan memang belum sepenuhnya tercapai. Berdasarkan laporan Satu Dekade Pemantauan Kemerdekaan Beragama Berkeyakinan oleh Wahid Foundation pada 2020, contohnya, selama 120 bulan terdapat lebih dari 2.000 tindakan pelanggaran terhadap kelompok minoritas, baik yang dilakukan oleh negara maupun kelompok masyarakat, seperti penyegelan tempat ibadah.

Namun, lewat ikhtiar menghadirkan perspektif kelompok masyarakat yang menjadi korban konflik ataupun diskriminasi, diharapkan tak hanya jadi cara pemulihan trauma. Upaya ini juga diharapkan dapat membangun empati masyarakat secara luas untuk mencintai sesama warga masyarakat.

Artikel ini pertama kali diposting oleh Harian KOMPAS pada tanggal 15 Mei 2022 dan bisa ditemukan di: https://www.kompas.id/baca/polhuk/2022/05/14/ketika-komunitas-rentan-bicara-melalui-video

Share
Ingin mendapatkan informasi aktifitas The Habibie Center?