JAKARTA, KOMPAS — Penanganan kejahatan daring berbasis jender di Asia Tenggara belum serius meskipun kawasan ini telah memiliki modalitas. Menyikapi kondisi itu, pendidikan literasi digital yang mencakup keamanan siber hendaknya menjadi rencana aksi strategis Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara atau ASEAN.

Hal itu mengemuka di dalam diskusi rutin mengenai ASEAN yang diadakan oleh The Habibie Centre di Jakarta, Selasa (18/2/2025). Kali ini, diskusi, yang digelar bersama oleh Kedutaan Besar Kanada untuk ASEAN di Jakarta itu membahas kekerasan daring berbasis jender. Mayoritas korban adalah perempuan dan diikuti para anggota komunitas ragam jender.

”Kanada mengalami langsung manfaat kesetaraan jender di dalam segala aspek. Berkat itu, kami bisa maju dan sejahtera,” kata Duta Besar Kanada untuk ASEAN Vicky Singmin ketika membuka acara.

Meskipun begitu, lanjut Singmin, tantangan terus ada. Kemajuan teknologi menguak jenis kejahatan yang mengincar perempuan di dunia maya. Sebagai gambaran, 1 dari 5 perempuan Kanada pernah mengalami kekerasan secara daring.

Bahkan, 33 persen perempuan berumur 15-24 tahun pernah dilecehkan di media sosial. Ada yang dikuntit secara daring, dirundung, dan dihina penampilan fisik, agama dan kepercayaan, maupun pekerjaannya.

”Para korban mengalami stres, malu, tertekan, ketakutan, dan ada yang harta bendanya habis demi membayar pendampingan hukum. Batas-batas geografis kini tak ada arti karena pelakunya lintas negara,” tutur Singmin.

Sebagai tanggapan, Ottawa memasukkan penanganan kekerasan daring terhadap perempuan dan kelompok rentan ke dalam rencana aksi pembangunan nasional. Salah satu turunannya ialah Strategi Indo-Pasifik Kanada.

Di dalam strategi ini, Kanada berbagi ilmu dan keterampilan teknis dengan negara-negara lain. Salah satu programnya menggaet perusahaan keamanan siber Blackberry untuk mendirikan pusat keamanan siber di Malaysia yang menyediakan pelatihan untuk masyarakat awam, terutama perempuan. Hak digital

Berdasarkan data ASEAN, 88 persen perempuan Asia Tenggara berumur 18-75 tahun pernah mengalami kekerasan daring. Direktur Eksekutif SafeNet—jaringan kebebasan berekspresi di Asia Tenggara—Nenden Sekar Arum menjelaskan, di kawasan ini, akses perempuan ke internet dan teknologi digital umumnya masih rendah.

”Kalaupun bisa mengakses gawai elektronik dan internet, penggunaannya masih sangat mendasar dan belum memiliki literasi,” tuturnya.

Nenden menerangkan, literasi digital tidak hanya memahami cara memilih dan memilah informasi di internet. Literasi ini juga berarti setiap warganet memahami haknya untuk bebas berekspresi, mengaktualisasi diri, dan terlindung dari berbagai ancaman daring. Beberapa contoh ancaman daring ialah pelecehan, penguntitan, dan fitnah.

Pada saat yang sama, warganet perlu memahami etika berinternet. Kebebasan berekspresi tidak boleh untuk mengunggah dan menyebarluaskan konten berunsur pelanggaran hak berbasis seks, agama, ras, ekonomi, politik, dan sosial.

Literasi juga membantu warganet memahami ketika mereka mengalami pelecehan daring. Warganet tahu ke mana harus mengadu serta tahu ada hukum yang harus ditegakkan.

”Dunia maya dan teknologi itu bukan ruang netral. Mereka sangat dipengaruhi ketimpangan struktur sosial,” kata Nenden.

Pada dasarnya, teknologi digital masih dirancang dengan bias jender akibat minimnya keterlibatan perempuan di bidang sains, teknologi, keinsinyuran, dan matematika. Efeknya, algoritma berbagai media sosial tidak peka terhadap kosakata dan visual yang sejatinya melecehkan perempuan.

SafeNet berpengalaman bekerja sama dengan Meta dan Google untuk menangani berbagai aduan pelecehan di platform media sosial maupun situs. ”Prosesnya lamban sekali karena kedua raksasa teknologi itu tak mempunyai definisi, apalagi aturan mengenai konten kekerasan berbasis jender,” ungkap Nenden. Kualitas ruang

Direktur Eksekutif Parlementarian ASEAN untuk Hak Asasi Manusia (APHR) Yuyun Wahyuningrum menjelaskan, negara-negara anggota ASEAN belum sepenuhnya mengerti kualitas ruang digital. Kurikulum pengajaran teknologi informasi dan komunikasi di sekolah baru sebatas pemakaian, belum memastikan keamanan komunitas daring.

Belum ada satu negara pun di ASEAN yang secara terinci merumuskan hak-hak daring setiap warganya. Hak daring berbeda di dalam beberapa aspek dengan hak luring. Misalnya, seseorang bisa bebas berjalan di trotoar. Akan tetapi, orang lain tidak bisa memotret ataupun merekam orang berjalan tersebut tanpa seizin subyeknya, apalagi mengunggahnya di internet.

Tanpa ada definisi jelas ini, terjadi banyak pembiaran dari negara dan aparat penegak hukum saat perempuan dipersekusi secara daring. Beberapa contoh persekusi daring itu dialami oleh Wakil Presiden Filipina 2016-2022 Leni Robredo dan anggota DPR Thailand, Chonticha Jangrew.

Pantauan APHR mengatakan, mayoritas perempuan korban kekerasan daring memang politisi. Akan tetapi, juga banyak kasus yang korbannya adalah orang awam yang tidak terkenal oleh publik.

”Mereka menerima hinaan, fitnah, diungkap kehidupan pribadinya, dan dikuntit kegiatannya. Bahkan, pada kasus tertentu ada korban yang menerima ancaman pemerkosaan dan pembunuhan,” papar Yuyun.

Thailand dan Filipina sudah memiliki aturan keamanan siber, termasuk persekusi. Akan tetapi, penerapan sangat kurang. Salah satu faktor ialah belum mumpuninya literasi digital semua unsur masyarakat sehingga rawan terperosok pada pemberangusan kebebasan berekspresi.

”ASEAN sudah memiliki sistem pertukaran data antarnegara anggota untuk pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak. Ini modal yang sangat kuat, tinggal disadur untuk kekerasan daring berbasis jender,” kata Yuyun.

Melatih keterampilan

Jaclyn Sim, Manajer Senior Pelatihan Teknis di Pusat Keamanan Siber Blackberry Malaysia, menjelaskan pentingnya merekrut lebih banyak perempuan untuk menguasai pengetahuan dan keterampilan digital. Blackberry melalui program tersebut melatih 3.500 orang dari berbagai umur dan mayoritas perempuan.

”Pengaruhnya besar sekali. Perempuan teknisi mampu mengenali algoritma yang berisiko diskriminatif sehingga penapisan konten-konten pelecehan lebih efektif,” ujarnya.

Ia menjelaskan, perusahaan teknologi niscaya tetap harus memoderasi konten pada batas tertentu. Memang, ada tantangan baru ketika raksasa-raksasa teknologi memilih menghentikan cek fakta dan moderasi konten karena berbagai alasan.

”Kuncinya tetap di kejelasan aturan negara masing-masing. Perusahaan teknologi pastinya mau tidak mau harus patuh kalau mau beroperasi di negara itu,” kata Sim.

*Laraswati Ariadne Anwar, Journalist, Editor: Bonifasius Josie Susilo H

https://www.kompas.id/artikel/kekerasan-digital-berbasis-jender-belum-ditangani-oleh-asean

Share
Ingin mendapatkan informasi aktifitas The Habibie Center?