Acara Talking ASEAN on "Assessing the Impact of Pelosi's Visit to Taiwan and the Role of ASEAN" yang telah dilaksanakan pada Kamis, 8 September 2022 di Kanal Youtube The Habibie Center diliput oleh Harian KOMPAS ke sebuah artikel berjudul "Jaga Kredibilitas ASEAN untuk Dorong Kestabilan di Selat Taiwan" Untuk artikel selengkapnya, silakan lihat di bawah:

Jaga Kredibilitas ASEAN untuk Dorong Kestabilan di Selat Taiwan

Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau ASEAN memiliki prinsip sentralitas, yang berarti tidak memihak kubu geopolitik ataupun negara adidaya manapun. Akan tetapi, pada saat yang sama, ASEAN harus meningkatkan kredibilitasnya sebagai lembaga maupun di kalangan negara-negara anggotanya agar tidak tergantung kepada negara adidaya tertentu.

Demikian salah satu isu pembahasan dalam seminar daring bertajuk "Menelaah Dampak Kunjungan Pelosi ke Taiwan dan Meninjau Peran ASEAN dalam Hubungan Antarselat" yang diselenggarakan oleh The Habibie Center pada hari Kamis (8/9/2022). Acara itu membahas mengenai kunjungan Ketua DPR Amerika Serikat Nancy Pelosi ke Taiwan pada awal Agustus lalu.

AS sejatinya memercayai prinsip Satu China, yang menyatakan bahwa Taiwan merupakan bagian dari China, meskipun memiliki pemerintahan yang otonom. Akan tetapi, kunjungan Pelosi--orang nomor tiga dalam kekuasaan otoritas AS ditafsirkan sebagai dukungan AS terhadap kemerdekaan Taiwan.

Presiden China Xi Jinping dalam menyambut ulang tahun ke-100 Partai Komunis China yang akan jatuh pada bulan Oktober nanti sudah berkali-kali mengutarakan keinginannya untuk menyatukan kembali China dan Taiwan. Ini adalah cita-cita pemerintahannya. Hong Kong dan Makau, yang awalnya juga otonom, sekarang telah sepenuhnya di bawah pemerintahan Beijing.

Menanggapi kedatangan Pelosi, China melancarkan protes dengan cara menggencarkan latihan militer Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) di Selat Taiwan dan wilayah pertahanan udara Taiwan. Dalam satu bulan, ada tiga latihan yang dilangsungkan, semua merupakan respons atas kedatangan sejumlah senator AS ke Taiwan.

Ketegangan tersebut juga diungkit pada Pertemuan ke-55 Menteri Luar Negeri ASEAN (AMM) di Kamboja pada Agustus lalu. Mereka mengeluarkan pernyataan bersama yang menyebut nama Pelosi, Taiwan, China, maupun AS. Isi pernyataan itu adalah meminta agar semua pihak berkepala dingin dan mengutamakan kebijaksanaan dalam menjaga ketenangan serta keamanan kawasan Indo-Pasifik.

"ASEAN secara umum maupun anggotanya menanggapi kedatangan Pelosi dengan netral, meskipun beberapa anggota ada yang mengatakan sedikit keberatan. Akan tetapi, ASEAN sudah menegaskan agar tidak ada konflik dan perpecahan di kawasan," kata Benjamin Ho, pakar kajian China di Sekolah Kajian Internasional S Rajaratnam, Singapura, dalam diskusi tersebut.

Ia melihat ada sejumlah skenario yang bisa diambil oleh ASEAN dalam menindaklanjuti persoalan ini. ASEAN dalam prinsip sentralitasnya menekankan agar tidak ada yang ikut campur dalam urusan internal tiap-tiap negara. Prinsip ini bisa diterapkan menjadi beberapa langkah.

Pertama ialah mengembalikan hubungan antara ASEAN dengan China, Taiwan, dan AS kembali seperti sebelum kunjungan Pelosi. Intinya dengan mendorong kembali agar semua pihak menghormati dan menjalankan status quo yang telah disepakati.

Status quo ini adalah prinsip Satu China yang mengizinkan otonomi Taiwan. Kondisi ini memungkinkan berbagai negara di dunia, walaupun tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Taiwan, bisa menikmati kerja sama antara lain di bidang ekonomi, teknologi, dan pendidikan.

Kedua, ASEAN dan seluruh anggotanya harus pandai-pandai melangkah agar tidak terseret oleh salah satu kubu adidaya. Hal ini terkait erat dengan langkah ketiga yang diusulkan Ho, yaitu memastikan kemandirian ekonomi ASEAN. Kemandirian ini memungkinkan ASEAN dan anggotanya tidak menggantungkan keberlangsungan ekonomi mereka atas komoditas negara-negara adidaya. Ini juga akan memberi kredibilitas lebih bagi kelembagaan ASEAN.

"Prinsip tidak ikut campur bukan berarti tidak peduli. Ada banyak cara untuk mendukung status quo di Selat Taiwan tanpa harus terserat dinamika dua kubu politik yang berseberangan," papar Ho.

"Status quo"

Dari pihak masyarakat Taiwan sendiri, jajak pendapat terakhir diterbitkan pada tanggal 20 Juli 2021 oleh Universitas Nasional Cheng Chi (NCCU) di Taipei. Sebanyak 87,4 persen responden menginginkan agar status quo ini dipertahankan. Selain itu, ada 5,6 persen responden menginginkan kemerdekaan penuh Taiwan dan 1,5 persen menginginkan persatuan dengan China.

Isu kemerdekaan Taiwan memang santer karena pemerintahan saat ini dikuasai oleh Partai Politik Demokratik (DPP) yang memang berhaluan radikal jika dibandingkan dengan Kuomintang (KMT). Sebelumnya, pada tahun 2000 ketika Presiden Taiwan Chen Sui-bian yang juga berasal dari DPP--seperti presiden sekarang, Tsai Ing-wen-- isu kemerdekaan juga ramai bergaung.

Sama juga seperti sekarang, jajak pendapat NCCU yang dilakukan setiap menjelang pemilihan umum presiden menunjukkan bahwa mayoritas rakyat Taiwan, yaitu 77 persen, menginginkan status quo.

Terkait hal tersebut, peneliti senior di Institut Kebijakan Strategis Australia (ASPI) Malcolm Davis mengajukan pertanyaan penting, yaitu definisi status quo itu sendiri. "China sejak Presiden Xi Jinping mengumumkan Impian China dan ketidakraguan dia menurunkan kekuatan militer untuk menyatukan Beijing dan Taipei jelas telah memiliki pemahaman berbeda terhadap prinsip status quo. Taiwan, ASEAN, dan negara-negara lain juga harus memikirkan kembali arti dan tujuan status quo di masa kini," ujarnya.

Menurut Davis, dunia harus bertanya kepada diri sendiri dan sesama, apakah mereka siap jika China menganeksasi Taiwan. Kesiapan ini yang menentukan, apabila dunia tidak ingin aneksasi itu terjadi, harus ada langkah-langkah yang diambil untuk memastikan status quo terus berjalan. Demikian pula jika seandainya negara-negara dunia secara umum menganggap kembalinya Taipei ke Beijing bukan sesuatu yang dipersoalkan.

"Kita tidak bisa melihat ini sebagai urusan antara AS-China dan Taiwan terjebak di tengah. Ada efek berantainya yang sedari dini harus dipikirkan apakah kita semua siap dengan akibatnya," tutur Davis.

Pemikiran serupa dikemukakan oleh Drew Thompson, peneliti tamu di Sekolah Kebijakan Publik Lee Kuan Yew di Singapura. Ia menyoroti fakta bahwa pada tahun 2022, anggaran militer China naik sebanyak 20,8 miliar dollar AS. Sebagai perbandingan, anggaran militer Indonesia adalah 8 miliar dollar AS. Berbagai latihan perang China secara terbuka memperlihatkan adanya persiapan untuk penyatuan seluruh negara, termasuk Taiwan.

Bahkan, analisis berbagai pakar kajian militer menyepakati bahwa dengan perkembangan kekuatan PLA sekarang akan cukup memberi kemampuan pada Beijing melancarkan aneksasi Taiwan pada tahun 2027. Memang tidak ada pembicaraan ataupun tampak kebijakan Beijing ke arah sana pada tahun 2027, tetapi pencapaian kekuatan PLA untuk melakukannya patut diawasi.

Thompson menjelaskan, cara Beijing untuk mencari dukungan internasional bukan dengan menyuruh negara-negara lain berpihak, melainkan dengan jebakan perdagangan. Saat ini, ada 100 komoditas pertanian dan perikanan Taiwan yang diembargo China. Sebagai gantinya, China mengimpor komoditas-komoditas itu dari negara-negara Amerika Latin, Afrika, dan Asia Tenggara.

"Patut kita pertanyakan juga apakah dengan kedekatan ekonomi tersebut akan berujung kepada politik utang budi sehingga negara-negara mitra dagang ini mendukung China? Hal ini harus dipaparkan secara terbuka di setiap negara," kata Thompson.

Artikel ini pertama kali diposting oleh Harian KOMPAS pada tanggal 8 September 2022 dan bisa ditemukan di: https://www.kompas.id/baca/internasional/2022/09/08/jaga-kredibilitas-asean-untuk-dorong-kestabilan-di-selat-taiwan

Share
Ingin mendapatkan informasi aktifitas The Habibie Center?