Umar Juoro
Senior Fellow the Habibie Center
Hadapi Ketidakpastian Ekonomi
Permasalahan perbankan di AS ("regional bank") dan Swiss (Credit Suisse), dengan pengaruhnya ke banyak negara, telah terpecahkan.
Inflasi juga melambat sehingga bank sentral diharapkan jeda (pause) untuk suku bunga tidak dinaikkan.
Begitu pula Indonesia. Dengan kondisi perbankan kuat, inflasi melambat di bawah 5 persen, rupiah terapresiasi, BI tidak saja menahan suku bunga kebijakan, tetapi juga melihat kemungkinan menurunkan.
Sekalipun demikian, ekonomi AS dan Eropa masih belum lepas dari kemungkinan pertumbuhan negatif atau resesi. Kenaikan suku bunga yang cepat dan tinggi menekan kegiatan ekonomi.
Begitu pula banyak pemilik dana memilih aman beralih dari bank kecil dan menengah ke bank besar dan ke obligasi. Kemungkinan perlambatan pertumbuhan kredit (credit tightening) terjadi. Aliran dana ke ekonomi digital dan tekfin juga menurun berarti. Banyak perusahaan memberhentikan pekerja lagi.
OPEC+ ikut menurunkan produksi untuk mencegah penurunan harga minyak yang dalam, seperti yang pernah terjadi. Akibatnya, harga minyak naik kembali. Keadaan ini menyulitkan bank sentral dalam mengendalikan inflasi dan menghindari pendaratan darurat (hard landing) atau resesi. Karena itu, kenaikan suku bunga oleh the Fed masih mungkin terjadi sebelum jeda ditindaklanjuti.
Adapun prospek ekonomi di Asia membaik dengan pembukaan China dan pengaruh positif di tingkat regional. Pertumbuhan ekonomi China diperkirakan 5,5 persen dan ekonomi Indonesia bisa tumbuh 5 persen. Namun, lembaga multilateral, seperti IMF, Bank Dunia, dan ADB, menurunkan proyeksi ke 4,8-4,9 persen.
Keuangan paling menentukan
Dalam ekonomi modern, keuangan paling menentukan perkembangan ekonomi dan kejatuhannya. Perbankan, pasar modal dan obligasi, serta pasar keuangan lain memfasilitasi aliran keuangan. Transaksi keuangan lintas batas negara sekitar satu setengah PDB dunia. Karena itu, permasalahan keuangan ditransmisikan dengan cepat ke seluruh dunia. Seperti gelombang elektromagnetik, menjalar cepat ke mana-mana.
Kredit perbankan di negara maju dan negara berkembang tertentu, seperti China, sekitar satu setengah sampai dua kali PDB-nya. Kapitalisasi pasar modal melebihi PDB-nya. Sementara di Indonesia, rasionya untuk kredit masih sekitar 40 persen dan kapitalisasi pasar modal sekitar 50 persen PDB-nya. Karena itu, pengaruh kebijakan moneter ke sektor keuangan dan sektor riil di Indonesia relatif rendah transmisinya.
Mengantisipasi kemungkinan masih adanya permasalahan perbankan, dibutuhkan manajemen risiko yang semakin kuat. Sekalipun kecukupan modal dan likuiditas dalam keadaan baik, tingkat risiko cenderung meningkat. Selain itu, pelemahan kegiatan ekonomi di AS dan Eropa menurunkan ekspor, khususnya produk manufaktur terkait.
Normalisasi harga komoditas khususnya batu bara dan CPO, sebagai produk ekspor utama, berpengaruh terhadap ekspor dan kualitas kredit. Pasar modal juga masih tertekan dengan masih adanya kekhawatiran permasalahan perbankan di AS dan Eropa. Langkah penyesuaian dalam kesiapan risiko (risk apetite) dan penurunan risiko (derisking) harus dilakukan sekalipun ini mengoreksi pertumbuhan kredit.
Pertumbuhan kredit di Indonesia masih bisa diharapkan sekitar 10 persen. Dengan kredit konsumsi dan modal masih cukup tinggi, kredit investasi dengan normalisasi harga komoditas kemungkinan mengalami perlambatan. Kenaikan yang bertahap terjadi untuk bunga deposito dan pinjaman yang masih bisa disesuaikan.
Restrukturisasi kredit peninggalan masa pandemi berjalan baik yang masih tersisa sekitar Rp 427 triliun. Fasilitas restrukturisasi kredit dari OJK berakhir Maret dengan sektor tertentu masih mendapatkan perpanjangan. Untuk itu, bank yang memanfaatkan fasilitas restrukturisasi ini masih harus menyesuaikan provisi yang dialokasikan.
Keadaan neraca keuangan perusahaan pada umumnya cukup membesarkan hati. Tidak terjadi kesenjangan (mismatch) antara aset dan liabilitas secara berarti sekalipun sebelumnya perusahaan rugi dalam kepemilikan obligasi yang sempat turun harganya. Namun, kerugian teratasi dengan penerimaan operasional yang meningkat berarti.
Pelarangan ekspor berteknologi tinggi khususnya cip dari AS, Eropa, dan Jepang ke China mengganggu rantai pasokan global yang masih belum pulih dari masa pandemi.
Permasalahan rantai pasokan
Pelarangan ekspor berteknologi tinggi khususnya cip dari AS, Eropa, dan Jepang ke China mengganggu rantai pasokan global yang masih belum pulih dari masa pandemi. Keadaan ini memberikan keuntungan pada India dan Vietnam yang mengisi kesenjangan dalam rantai pasokan cip ini. Sementara berlanjutnya perang Rusia-Ukraina membuat ketegangan geopolitik tinggi. Ketegangan geopolitik ini mengganggu perkembangan rantai pasokan global khususnya pangan secara berarti.
Indonesia berkeinginan untuk berperan lebih besar dalam rantai pasokan global, khususnya untuk baterai dan kendaraan listrik. Berbagai upaya menarik investasi dilakukan dengan memberikan berbagai insentif yang menarik. Bahkan, larangan ekspor nikel dilakukan yang akan diikuti dengan larangan ekspor bahan mentah lain.
Meski demikian, larangan ekspor itu tidak menjamin perkembangan industri hilir dengan ketatnya persaingan. Tambahan lagi, langkah ini mendatangkan perselisihan perdagangan dengan negara importir terkait.
Kebijakan yang lebih realistis, seperti kewajiban pasokan dalam negeri (domestic obligation), lebih sejalan dengan perhitungan cost and benefit. Dengan demikian, kemungkinan keberhasilan dalam memperbesar peran rantai pasokan global menjadi lebih kuat.
Konsumsi menjadi andalan
Pada saat ekonomi dunia menghadapi ketidakpastian, konsumsi dalam negeri menjadi andalan. Konsumsi tumbuh cukup baik pada kisaran 5 persen. Pertumbuhan konsumsi sebagai gaya pengangkat (lift) ekonomi masih dapat diandalkan. Dengan inflasi yang terkendali, terjaga kepercayaan konsumen.
Tentunya investasi juga penting sebagai gaya pendorong (thrust) ekonomi. Perbaikan lingkungan investasi dengan diberlakukannya UU Cipta Kerja, dan fokus pada pengembangan rantai pasokan global, bisa diharapkan meningkatkan investasi.
Ekspor sebagai tambahan gaya pendorong kemungkinan melemah dengan ketidakpastian ekonomi global yang cukup tinggi. Sekalipun demikian, ekonomi Indonesia masih dapat menjelajah (cruising) dengan kecepatan sekitar 5 persen menghadapi ketidakpastian ini.
Artikel ini pertama kali dipublikasikan oleh Harian KOMPAS pada 11 April 2023 and can be found at: https://www.kompas.id/baca/opini/2023/04/10/hadapi-ketidakpastian-ekonomi]
Komentar