Bawono Kumoro
Kepala Departemen Politik Dan Pemerintahan The Habibie Center
Dulu Oposisi, Sekarang Koalisi
Peristiwa politik yang paling dinantikan seusai pelantikan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin sebagai presiden dan wakil presiden periode 2019-2024 terjadi juga. Jokowi kemudian mengumumkan formasi kabinet untuk membantunya pada periode kedua pemerintahannya. Kabinet Indonesia Maju menjadi nama yang dipilih oleh Jokowi untuk mereka.
Tidak dapat dimungkiri, hal yang paling menarik perhatian publik dari pengumuman kabinet tersebut adalah keberadaan dua elite Partai Gerindra. Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, didapuk menjadi Menteri Pertahanan dan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Edhy Prabowo, ditunjuk menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan. Keberadaan keduanya sekaligus menegaskan arah baru perjalanan Partai Gerindra lima tahun ke depan. Dari semula berada di luar pemerintahan sebagai oposisi, kini partai itu mengambil posisi di dalam pemerintahan sebagai anggota koalisi partai penguasa.
Perubahan sikap politik Partai Gerindra tersebut otomatis berdampak pada perubahan komposisi kursi di parlemen. Kekuatan koalisi pendukung pemerintah di parlemen jelas semakin besar dan koalisi partai pendukung pemerintah pun semakin tambun.
Walhasil, ketidakseimbangan politik akan sulit terhindarkan. Bukan tidak mungkin bangunan koalisi seperti itu akan berujung pada kemandulan mekanisme checks and balances antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif. Padahal kehadiran fungsi kontrol lembaga legislatif terhadap lembaga eksekutif merupakan sebuah keharusan bagi kelangsungan kehidupan demokrasi di Indonesia. Harus ada kekuatan solid di parlemen dari partai-partai di luar pemerintahan untuk mengontrol perjalanan pemerintahan selama lima tahun ke depan.
Menjatuhkan pilihan politik sebagai kekuatan oposisi tidak kalah terhormat dengan posisi sebagai partai penguasa. Dua posisi politik itu memiliki arti penting dan strategis bagi kelangsungan kehidupan demokrasi di negeri ini. Kita semua tentu tidak ingin memiliki lembaga eksekutif yang terlampau dominan dan tidak terkontrol sebagaimana pada era Orde Lama dan Orde Baru.
Hal lain yang juga patut dikritik dari perubahan sikap politik partai-partai itu adalah alasan mereka sering didasari dalih untuk mendorong efektivitas kinerja pemerintahan sekaligus memperkuat bangunan sistem presidensial. Namun pengalaman 10 tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono menunjukkan koalisi tambun tidak menjamin roda pemerintahan berjalan efektif. Alih-alih berjalan efektif, partai-partai anggota koalisi justru sering mengambil sikap berseberangan dengan kebijakan resmi pemerintah.
Sebagaimana dikatakan Linz dan Valenzuela (1994), koalisi cuma relevan dalam sistem pemerintahan parlementer, bukan sistem pemerintahan presidensial. Koalisi diperlukan untuk menggalang dukungan dalam rangka membentuk pemerintahan oleh partai pemenang pemilihan umum dan membangun blok oposisi bagi partai-partai yang tidak ikut dalam pemerintahan.
Dalam konteks sistem pemerintahan presidensial, sebagaimana yang dianut oleh Indonesia, lembaga eksekutif dan legislatif merupakan dua lembaga tinggi terpisah dan tidak dapat saling menjatuhkan. Kelangsungan hidup lembaga eksekutif tidak bergantung pada dukungan politik partai-partai di parlemen.
Jika ditelaah lebih jauh, persoalan koalisi partai-partai lebih berkaitan dengan pembagian jatah kursi di kabinet ketimbang sebagai ikhtiar politik untuk mendorong efektivitas pemerintahan dan memperkuat bangunan sistem presidensial. Bahkan boleh jadi koalisi bukan sekadar persoalan siapa mendapat apa, tapi juga kalkulasi mobilisasi dana partai politik guna keperluan pemilihan umum lima tahun mendatang.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa jabatan di kementerian sering menjadi pintu masuk aliran dana bagi partai politik tempat menteri bersangkutan bernaung. Kasus jual-beli jabatan di Kementerian Agama, dugaan suap dana hibah bagi Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) di Kementerian Pemuda dan Olahraga, serta perkara suap PLTU Riau-1 yang melibatkan mantan Menteri Sosial, Idrus Marham, harus menjadi catatan khusus bagi Presiden Jokowi untuk lebih mengawasi kinerja menteri-menteri berlatar belakang kader partai.
Motivasi politik lain yang tidak kalah strategis untuk bergabung dalam koalisi pemerintahan adalah kepentingan politik jangka pendek untuk menunjukkan eksistensi diri menuju 2024. Dalam pemilihan presiden lima tahun mendatang, tidak ada lagi petahana, sehingga saat ini partai-partai sudah mulai berpikir untuk mempromosikan kader-kader terbaik mereka sebagai calon presiden.
Duduk di jabatan-jabatan strategis di kabinet merupakan salah satu cara paling efektif bagi partai politik untuk mempromosikan kader-kader mereka. Dengan menduduki jabatan itu, kader terbaik sekaligus kandidat presiden potensial mereka akan memiliki panggung memadai untuk tampil setiap saat di ruang publik.
Dalam bahasa lebih lugas, jabatan menteri di kabinet merupakan eskalator menuju kursi kepresidenan pada 2024. Boleh jadi, itu juga salah satu motivasi Prabowo Subianto untuk menerima pinangan Jokowi menjadi Menteri Pertahanan, selain tentu saja alasan pengabdian kepada bangsa dan negara.
[Artikel ini pertama kali diposting oleh Tempo.co pada tanggal 28 Oktober 2019 dan bisa ditemukan di: https://kolom.tempo.co/read/1265154/dulu-oposisi-kini-koalisi/full&view=ok]
Komentar