Webinar Talking ASEAN "Reinforcement of the US Alliance Networks in the Indo-Pacific: What Should be Anticapated?" yang telah dilaksanakan pada Selasa, 22 Agustus 2023 di Kanal Youtube The Habibie Center diliput oleh Harian KOMPAS ke sebuah artikel berjudul "Dinilai Lambat, ASEAN Didesak Kuatkan Pengambilan Keputusan" Untuk artikel selengkapnya, silakan lihat di bawah:

Dinilai Lambat, ASEAN Didesak Kuatkan Pengambilan Keputusan

JAKARTA, KOMPAS — Menegaskan kembali posisi Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara atau ASEAN di Indo-Pasifik berarti harus berani mengubah sejumlah pendekatan kelembagaan. Perilaku internal ASEAN ini dijadikan tolak ukur pihak-pihak lain, termasuk negara adidaya untuk menakar keseriusan ASEAN di kawasan.

Hambatan terbesar di dalam ASEAN ada di dalam tubuhnya sendiri. Demikian dibahas dalam diskusi mengenai ASEAN dan meningkatnya aliansi keamanan Amerika Serikat (AS) di Indo-Pasifik. Acara diadakan The Habibie Centre di Jakarta, Selasa (22/8/2023).

"ASEAN harus kembali kepada marwah bahwa organisasi ini dibuat untuk mencegah dan mengelola konflik, bukan hanya soal pertumbuhan ekonomi," kata Direktur Eksekutif Pusat Kajian ASEAN Universitas Indonesia sekaligus pakar hubungan internasional Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Edy Prasetyono.

Ia menjelaskan, kerja sama perekonomian tetap bisa berjalan di antara dua negara ataupun pihak yang berkonflik. Akan tetapi, konflik harus dikelola dengan baik agar tidak pecah menjadi perang terbuka. ASEAN dibentuk guna mengelola berbagai persaingan itu agar tidak menjadi baku hantam.

Cara untuk mengelola konflik dan menjaga kewibawaan ASEAN ini adalah dengan menguatkan mekanisme pengambilan keputusan. Selama ini, ASEAN menerapkan sistem mufakat atau konsensus yang berarti seluruh anggota harus bersuara bulat. Ini membuat pengambilan keputusan lama sekali, bisa berbulan-bulan. Negara-negara lain, bahkan lembaga di dalam ASEAN pun kerap mengeluhkan jangka waktu ini.

Selain mufakat murni, menurut Edy, ada beberapa pilihan cara pengambilan keputusan. Pertama, metode 50 persen plus satu. Kedua, mekanisme pembobotan berdasarkan permasalahan yang dibahas. Misalnya, untuk sengketa Laut China Selatan (LCS), nilai suara dari Vietnam, Malaysia, dan Malaysia yang bersinggungan langsung dengan persoalan dihitung lebih berbobot dibandingkan para anggota ASEAN yang tidak ada sangkut paut dengan LCS.

Ketiga, suara mayoritas yang dikualifikasi. Misalnya, keputusan dianggap sah jika dua pertiga anggota setuju dan dua pertiga ini turut mewakili populasi ASEAN. Keempat dengan menetapkan formula jumlah minimum anggota yang menentang suatu keputusan. "Pilihan-pilihan ini diambil sesuai dengan isu yang dibahas, jadi tidak semuanya harus bergantung kepada konsensus," kata Edy.

Isu LCS bagi Filipina merupakan hal yang sangat sensitif dan terlalu berlarut-larut. Pakar hubungan internasional Universitas Filipina (UP), Richard Heydarian, mengatakan, Filipina telah mengusulkan pembuatan kode panduan (code of conduct/COC) LCS sejak tahun 1980-an dan hingga kini belum selesai. Berbagai perkembangan geopolitik membuat Filipina harus realistis, termasuk mendekatkan diri ke AS sebagai sekutu.

Ada kemungkinan muncul pakta pertahanan baru di Indo-Pasifik, yakni JAPHUS yang terdiri dari Jepang, Filipina, dan AS. "Filipina sejatinya tidak mau terseret persaingan geopolitik, tetapi situasi di negara kami tidak memungkinkan Filipina bersikap netral dan tidak memihak," kata Heydarian.

Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr berusaha mendekati China. Akan tetapi, ternyata bagi Manila, Beijing hanya mengobral janji. Selain tidak membahas penyelesaian sengketa LCS secara serius, China juga tidak mewujudkan janji memberi investasi sebesar 24 miliar dollar AS. Dari pengalaman ini, Marcos mendekat ke Jepang dan AS.

Kedekatan dengan AS ini mengaktifkan kembali Perjanjian Kerja Sama Pertahanan Ditingkatkan (EDCA) yang dulu diteken Presiden AS Barack Obama dan Presiden Filipina Benigno Aquino III pada 2014. EDCA sempat mati suri selama pemerintahan Rodrigo Duterte yang ingin melepas ketergantungan dari AS.

"Bagi Pemerintah Filipina, EDCA penting untuk kontingensi apabila terjadi konflik terbuka di Selat Taiwan. Sengketa Filipina dengan China tidak hanya di LCS, tetapi juga di Laut Filipina di barat. Jadi kami terjepit dua titik panas," kata Heydarian.

Wakil Rektor Universitas Pertahanan Mayor Jenderal Rodon Pedroson menuturkan, jika Filipina dan ASEAN tidak bisa mengelola pakta pertahanan itu dengan baik, akan ada keterbelahan di ASEAN. Filipina, tetangga dekat Indonesia dan salah satu pendiri ASEAN, berisiko menjadi palagan jika terseret konflik AS-China.

Artikel ini pertama kali diposting oleh Harian KOMPAS pada tanggal 22 Agustus 2023 dan bisa ditemukan di: https://www.kompas.id/baca/internasional/2023/08/22/dinilai-lambat-asean-didesak-kuatkan-pengambilan-keputusan

Share
Ingin mendapatkan informasi aktifitas The Habibie Center?