Kunny Izza Indah Afkarina
Peneliti, Energi Berkeadilan
Desentralisasi Energi Baru Terbarukan di Desa
Selamat untuk para pemimpin negeri yang telah terpilih. Tantangan baru telah menyambut dengan sekitar 110.000.000 jiwa penduduk Indonesia ternyata masuk dalam kategori miskin pada standar Bank Dunia untuk Purchasing Power Parity (PPP) terbaru. Bagaimana menghadapi tantangan tersebut sekaligus mengoptimalkan bonus demografi Indonesia yang dimulai sejak tahun 2020 sampai dengan 2035?
Indonesia memiliki peluang emas menjadi negara dengan perekonomian terbesar ketujuh di dunia pada tahun 2030 (Studi McKinsey 2012) dan perekonomian terbesar keempat pada tahun 2050 (Studi Goldman Sachs 2022), diantaranya melalui pembangunan ekonomi hijau. Salah strategi yang dapat dilaksanakan adalah dengan desentralisasi Energi Baru Terbarukan (EBT) yang berkeadilan. Demografi yang tersebar di luar Jamali (Jawa, Madura, dan Bali) menyebabkan tingginya biaya investasi infrastruktur. Serta ditambah dengan sebagian besar teknologi EBT masih impor turut semakin meningkatkan biaya investasi EBT dan menyebabkan terhambatnya perkembangan EBT di tingkat daerah. Akan tetapi pada sisi lain, setiap daerah juga memiliki ragam potensi EBT dengan masing-masing skala kapasitas yang cukup besar, maupun potensi ekonomi produktif dengan produk - produk kualitas ekspor.
Analisa Bank Dunia telah menjabarkan bahwa kurangnya pengembangan kemampuan inovasi dalam negeri merupakan jantung dari middle-income trap. Diantaranya adalah strategi pasar yang menghasilkan pertumbuhan produktivitas yang buruk, deindustrialisasi yang cepat, menurunnya kecanggihan/daya saing ekspor, kinerja inovasi yang buruk, dan rendahnya investasi pada kemampuan sosial yang diperlukan. Inovasi dengan penyebaran teknologi EBT dan industri ekonomi produktif menjadi teknologi lokal dapat menjadi katalis dalam mempercepat pembangunan ekonomi hijau Indonesia di daerah serta mewujudkan usaha negara Indonesia keluar dari middle-income trap.
Persentase elektrifikasi yang saat ini masih belum secara menyeluruh menunjukkan kondisi ketidaksetaraan distribusi energi listrik di Indonesia. Elektrifikasi di Indonesia meningkat 16% dari tahun 2022 menjadi 99,78% di akhir tahun 2023. Meskipun mayoritas masyarakat sudah teraliri listrik, masih banyak kawasan yang tidak mendapatkan ketersediaan listrik selama 24 jam dan hanya terbatas untuk listrik berdaya rendah. Ketidakmerataan akses dan keandalan energi listrik tersebut dapat berpengaruh terhadap pendidikan dan perekonomian masyarakat sehingga dapat memicu arus urbanisasi. Arus urbanisasi menyebabkan terjadinya brain drain di pedesaan, sehingga terjadi kekurangan dalam jumlah tenaga terampil dan yang memiliki keahlian.
Indonesia telah memiliki potensi EBT yang relatif besar sebagai modal awal dalam pembangunan ekonomi hijau. Indonesia memiliki potensi EBT sebesar 3.686.000 Megawatt (MW), dengan pemanfaatannya pada data tahun 2023 baru mencapai 12.540 MW. Sedangkan kapasitas terpasang total pembangkit listrik di Indonesia mencapai 72.976 MW hingga Desember 2023. Ragam EBT serta lokasinya yang tersebar juga memungkinkan untuk peningkatan ketahanan energi secara nasional sehingga Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk membangun ekonomi hijau dengan suplai listrik yang lebih dari cukup, dari EBT.
Selain potensi EBT, Indonesia juga memiliki potensi yang sangat besar dalam perkembangan ekonomi pertanian dan maritim. Pada tahun 2021 Produk Domestik Bruto sektor pertanian (tanpa perikanan) telah menyumbang senilai Rp 1.514,7 Triliun. Dimana sektor pertanian menyerap sebesar 40,64 juta jiwa tenaga kerja pada data 2022. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2021, potensi ekonomi pada 11 sektor kelautan Indonesia mencapai US$ 1.338 Miliar per tahun atau lebih dari Rp 20.000 Triliun per tahun. Ke-11 sektor kelautan itu dapat menyediakan 45 juta lapangan kerja. Namun kondisi akses energi yang kurang merata berdampak pada perekonomian masyarakat daerah. Sektor pertanian dan kelautan masih relatif bergantung pada energi fosil untuk mencukupi kebutuhan energi dalam melaksanakan kegiatan produksi. Pembangunan dan pemanfaatan EBT dapat membantu menurunkan alokasi biaya energi sekaligus mengurangi ketergantungan energi fosil sehingga dapat meningkatkan produktivitas pertanian dan kelautan dalam perekonomian hijau di level daerah hingga nasional.
Pembangunan modal sosial sebagai dasar desentralisasi energi dan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
Adat budaya masyarakat Indonesia telah sejak lama memiliki nilai - nilai dalam menjaga lingkungan sekitar dan hutan. Namun kondisi masyarakat adat yang dikelilingi hutan membuat terbatasnya suplai listrik. Sehingga sistem yang sesuai untuk masyarakat adat tersebut adalah sistem "island mode" atau desentralisasi. Desentralisasi yang direncanakan dengan strategis dapat dapat menunjang keadilan sosio-ekologis dimana pembangunan akses EBT dilaksanakan berbasis masyarakat secara demokratis, disertai dengan pembangunan ekonomi produktif dari energi listrik EBT, dan meningkatkan keberlanjutan bagi lingkungan.
Implementasi EBT dan pembangunan ekonomi di daerah rentan mengalami kegagalan diakibatkan kurangnya perencanaan partisipatif, pengawasan, dan pengelolaan di lapangan. Dalam hal ini, partisipasi masyarakat menjadi kunci, karena kesadaran dan dukungan dari masyarakat lokal sangat diperlukan untuk mencapai keberlanjutan tata kelola energi terbarukan dan pembangunan ekonomi produktif di daerah-daerah. Oleh karenanya, dibutuhkan keberadaan pendamping lokal dan local champion untuk membangun kembali pondasi sosial dalam implementasi energi terbarukan dan pembangunan ekonomi daerah.
Pendamping lokal bersama local champion dapat menjadi pioneer dan katalisator dalam mendorong keberlanjutan dan pemerataan manfaat energi terbarukan di tingkat lokal. Pendamping lokal dapat membantu identifikasi local champion dan kemudian bersama-sama terlibat aktif pada kegiatan identifikasi potensi, perencanaan, implementasi partisipatif, adaptasi teknologi kepada masyarakat hingga monitoring serta evaluasi jangka panjang. Selain itu, mereka memiliki peran penting dalam memfasilitasi kemitraan antara masyarakat, pemerintah daerah, dan sektor swasta untuk realisasi proyek EBT serta ekonomi produktif dengan produk olahan berkualitas ekspor.
Strategi penguatan modal sosial, pelatihan kerja langsung (On the Job Training/OJT), dan pembangunan teknologi lokal EBT telah dilaksanakan oleh pendiri Lembaga Inisiatif Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA) pada program PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro) yang berbasis masyarakat di berbagai daerah. Sehingga PLTMH di Indonesia dapat mulai dibangun dengan teknologi lokal yang ekonomis, handal dengan servis lokal, dan berbasis masyarakat.
Selain itu, masyarakat di daerah rata-rata memiliki kemampuan personal yang terampil dan cakap dalam mengimplementasikan hal-hal teknis, termasuk teknologi lokal. Sehingga teknologi lokal untuk EBT dan industri peningkatan nilai tambah hasil lokal dapat dibangun sesuai kebutuhan daerah dengan meningkatkan kapasitas dari workshop lokal, melalui dukungan dari para pemangku kepentingan terkait. Realisasi teknologi lokal ini dapat berpeluang menurunkan biaya investasi, meningkatkan kualitas SDM pada adaptasi inovasi teknologi, serta memacu pertumbuhan ekonomi daerah. Pembukaan lapangan kerja hijau (green jobs) di daerah dapat menarik SDM terpelajar dan terampil dari kota dalam rangka mensupervisi SDM lokal pada pengembangan teknologi dan ekonomi di daerah sehingga dapat mengurangi arus urbanisasi serta mengoptimalkan bonus demografi Indonesia sampai 2035. Hal ini dapat turut mempercepat peningkatan kualitas SDM lokal sekaligus membangun kemandirian dan rasa kepemilikan masyarakat di daerah sehingga dapat tercapai multiplier effect pada beberapa bidang sekaligus, yaitu inovasi teknologi, ekonomi, sosial, serta lingkungan.
Penguatan tata kelola EBT perlu dilakukan secara terintegrasi dari semua pemangku kepentingan melalui upaya kolaboratif yang melibatkan lembaga pemerintah, swasta, lembaga swadaya, dan komunitas lokal. Oleh sebab itu, membutuhkan komitmen bersama antar Kementerian & Lembaga (K/L) terkait, serta adanya upaya untuk menyelaraskan kebijakan-kebijakan yang ada agar mendukung implementasi energi terbarukan beserta ekonomi produktif, khususnya di daerah, sehingga selaras dengan rencana pembangunan nasional. Mewujudkan peluang besar Indonesia memanfaatkan bonus demografi dan inovasi teknologi untuk keluar dari middle income trap, menjadi negara maju peringkat ketujuh dunia pada 2030 dan kemudian peringkat keempat pada 2050. Dengan pembangunan ekonomi hijau yang demokratis untuk mencapai kehidupan Rakyat Indonesia yang makmur, adil, dan sejahtera.
Artikel ini merupakan hasil kolaborasi dengan Pradygdha Kumayan Jati [Manajer Program Infrastruktur IBEKA] dan pertama kali dipublikasikan oleh Harian KOMPAS pada tanggal 7 Mei 2024 dan bisa ditemukan di: https://lestari.kompas.com/read/2024/05/07/103404686/desentralisasi-energi-baru-terbarukan-di-desa?page=all#page2
Komentar