Focus Group Discussion "Studi Kebijakan Pencegahan Stunting di Era Pandemi" yang telah dilaksanakan pada Rabu, 28 Juli 2021 diliput oleh BeritaSatu ke sebuah artikel berjudul 'Cegah Stunting, Pemerintah Harus Prioritaskan Pemberian Nutrisi kepada Keluarga Miskin' Untuk artikel selengkapnya, silakan lihat di bawah:
Cegah Stunting, Pemerintah Harus Prioritaskan Pemberian Nutrisi kepada Keluarga Miskin
Pencegahan stunting adalah agenda besar pemerintah di bidang kesehatan dalam beberapa tahun terakhir. Namun, pandemi Covid-19 menyebabkan laju penurunan stunting melambat. Bahkan Pandemi Covid-19 justru akan meningkatkan angkat stunting di Indonesia.
Untuk mengurani angkat stunting saat ini dan mengejar target prevalensi sebesar 14% pada tahun 2024, diperlukan reorientasi program yang lebih nyata dan terarah di lapangan, dengan penekanan pada intervensi spesifik pemenuhan nutrisi anak, dan diprioritaskan kepada kelompok miskin yang mengalami pukulan terberat di masa pandemi ini.
Demikian dilansir dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diadakan The Habibie Center (THC) dalam rangka Studi Kebijakan Pencegahan Stunting di Era Pandemi baru-baru ini.
Berdasarkan hasil survei Status Gizi Balita pada 2019, prevalensi stunting Indonesia tercatat sebesar 27,67 persen. Angka itu masih di atas standar yang ditetapkan oleh WHO bahwa prevalensi stunting di suatu negara tak boleh melebihi 20 persen.
Masalah stunting harus diatasi dengan baik agar generasi masa depan Indonesia bisa menjadi generasi yang unggul, berdaya saing, dan berkualitas.
FGD dipandu oleh Pemerhati Stunting dan anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional, Tono Rustiano; dan dihadiri oleh sejumlah pemangku kepentingan dan pembuat kebijakan, yang meliputi wakil dari Sekretariat Wakil Presiden, Kemko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Bappenas, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, ahli gizi, akademisi, organisasi sosial dan keagamaan, serta wakil dari dunia industri.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, Hasto Wardoyo, mengatakan, tantangan yang dihadapi dalam upaya penurunan stunting dan strategi yang akan ditempuh untuk mencapai target rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2020-2024 yaitu prevalensi stunting sebesar 14% pada 2024, yang meliputi sejumlah intervensi spesifik seperti pemberian makanan pendamping ASI, makanan tambahan ibu hamil dan balita kurus.
Selain itu imunisasi, konseling dan pendidikan gizi, dan lain-lain dan intervensi sensitif penyediaan air bersih, sanitasi, perlindungan sosial, stimulasi dini, Pendidikan Anak Usia Dini (Paud), bantuan pangan, dan lain-lain.
Saat ini Strategi Nasional (Stranas) Percepatan Pencegahan Stunting telah disusun dan dikoordinasikan secara komprehensif, di antaranya dituangkan dalam delapan aksi konvergensi percepatan penurunan stunting.
Pada sesi ini dinyatakan bahwa tantangan terbesar dalam mencegah dan menurunkan angka stunting tersebut ada pada implementasi dari strategi dan aksi konvergensi itu sendiri.
Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan dari Sekretariat Wakil Presiden, Suprayoga Hadi, mengatakan, terdapat sejumlah tantangan dalam pelaksanaan stranas stunting.
Di antaranya belum efektif dan efisiennya pengalokasian dan penggunaan sumber daya serta keterbatasan kapasitas penyelenggaraan program.
Selain itu, terungkap juga bahwa istilah stunting sendiri belum terlalu dikenal di kalangan masyarakat, sedangkan upaya perubahan perilaku untuk mencegah stunting juga akan memerlukan waktu.
Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Pungkas Bahjuri, memaparkan sejumlah dampak pandemi terhadap stunting.
Antara lain terhambatnya pelayanan kesehatan seperti penutupan pusat pelayanan terpadu (posyandu) sebagai fasilitas pemantauan stunting, dan penurunan daya beli masyarakat.
Ditambah lagi adanya pengalihan anggaran yang semula dialokasikan untuk program penurunan stunting kepada program penanganan Covid-19, baik di tingkat pusat, kota/kabupaten hingga tingkat desa.
Hal ini menjadi tantangan tersendiri karena diprediksi akan terjadi perlambatan penurunan stunting selama masa pandemi.
Perihal pengalihan anggaran ini, Hasto mengakui, dari anggaran yang diusulkan BKKBN sebesar Rp 1,1 triliun ternyata kemudian hanya disetujui sebesar sekitar Rp 110 miliar oleh pemerintah.
Sementara untuk mengejar target prevalensi sebesar 14% pada tahun 2024, kata dia, pihaknya tinggal mempunyai waktu tiga tahun. Karena keterbatasan ini, mau tidak mau kita harus melakukan reorientasi program.
Contoh, kata dia, reorientasi program yang diusulkan BKKBN antara lain konsep inkubasi dengan mempertahankan faktor spesifik.
"Misalnya dalam konseling pra nikah juga dilakukan pemeriksaan terhadap kadar Hb calon pengantin. Itu murah sekali dan bisa dikerjakan di Puskesmas dan Posyandu," tambahnya.
Namun catatan lain, pandemi ini juga telah mendorong adanya sejumlah penyesuaian intervensi pada bidang kesehatan. Contohnya penyelenggaraan posyandu keliling yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dan peningkatan penyaluran bantuan sosial oleh Kementerian Sosial.
Tantangan dalam implementasi kebijakan penurunan stunting juga disampaikan oleh para pelaku intervensi di lapangan, baik dari kalangan akademisi dan praktisi, lembaga swadaya masyarakat, maupun pengusaha.
Beberapa contoh masalah utama yang ditemui di lapangan adalah kurangnya kolaborasi lintas sektor dalam pelaksanaan program penurunan stunting, cakupan intervensi spesifik yang belum sesuai target, dan masih rendahnya asupan gizi balita.
Artikel ini pertama kali diposting oleh BeritaSatu pada tanggal 3 Agustus 2021 dan bisa ditemukan di: https://www.beritasatu.com/kesehatan/809253/cegah-stunting-pemerintah-harus-prioritaskan-pemberian-nutrisi-kepada-keluarga-miskin
Komentar