Kepala Bidang Kajian ASEAN, A. Ibrahim Almuttaqi dikutip dalam sebuah artikel CNN Indonesia berjudul 'Berharap Nyali Diplomasi Indonesia di Sidang Umum PBB' Untuk artikel selengkapnya, silakan lihat di bawah:

Berharap Nyali Diplomasi Indonesia di Sidang Umum PBB

Jakarta, CNN Indonesia -- Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akan menggelar Sidang Umum sekaligus memperingati 75 tahun lembaga itu berdiri pada pekan ini.

Di sisi lain, gelaran itu diharap bisa memberikan jalan keluar yang adil bagi seluruh negara anggota, di tengah kondisi pandemi virus corona (Covid-19) dan berbagai persoalan lain.

Indonesia sebagai salah satu negara anggota PBB diharapkan muncul dan turut memberikan solusi bagi segala persoalan yang terjadi saat ini.

Seperti dilansir AFP, Senin (21/9), Sidang Umum PBB tahun ini digelar dengan format berbeda. Para pemimpin negara akan menyampaikan pidato secara virtual.

Hanya perwakilan mereka yang sudah berada di markas PBB di New York yang bisa hadir langsung di ruang sidang.

Sidang Umum PBB tahun ini juga dibuka dengan penandatanganan deklarasi niat baik dan memerangi unilateralisme.

Di dalam deklarasi itu dipaparkan bahwa selama 75 tahun PBB berdiri, lembaga itu sudah mengecewakan banyak pihak dalam berbagai kesempatan.

'Dunia saat ini bukanlah masa seperti yang diharapkan para pendiri 75 tahun lalu,' demikian salah satu isi deklarasi itu.

Deklarasi itu menyatakan sampai saat ini ketidakadilan terus tumbuh di seluruh dunia. Termasuk dengan tingkat kemiskinan, kelaparan, peperangan, terorisme, dan perubahan iklim.

Akan tetapi, di dalam deklarasi itu juga tercantum pujian bahwa PBB sudah melakukan banyak hal untuk melakukan dekolonisasi, mempromosikan kebebasan, menetapkan standar pembangunan dan pemberantasan penyakit.

'PBB telah membantu mitigasi sejumlah konflik, menyelamatkan ratusan ribu nyawa dengan aksi kemanusiaan, dan menyediakan pendidikan bagi jutaan anak,' tulis deklarasi itu.

Kendati demikian, pandemi Covid-19 memperlihatkan tabiat negara-negara di dunia. Mereka yang berkocek tebal bisa lebih dulu melindungi diri ketimbang negara berkembang atau miskin.

Penutupan wilayah dan keterbatasan kerja sama saat pandemi membuat negara-negara di dunia memilih berjalan sendiri-sendiri ketimbang bekerja sama.

Perlombaan menemukan vaksin virus corona juga menuai masalah baru. Negara-negara kaya dilaporkan sudah mengincar sebagian besar produksi vaksin untuk dikuasai.

Sedangkan negara-negara kecil hanya bisa gigit jari melihat kondisi itu. Belum lagi dengan ancaman depresi dan resesi ekonomi sebagai dampak pandemi.

Indonesia sebagai negara anggota PBB kini dituntut harus berperan lebih aktif dalam hal diplomasi, terutama di masa krisis seperti ini.

'Indonesia harus bekerja dengan negara-negara yang berpikiran sama dan mencoba membangun mayoritas di Sidang Umum PBB yang mendukung gagasan vaksin yang dapat diakses secara luas,' kata Kepala Departemen Program Kajian ASEAN The Habibie Center, Ibrahim Almuttaqi, kepada CNNIndonesia.com.

Menurut Ibrahim, diplomasi Indonesia bisa berhasil jika mampu mendekati beberapa negara besar atau maju yang mungkin bersimpati pada perjuangan Indonesia.

'Saya pikir sangat penting bahwa semua negara memiliki akses ke vaksin akhir apa pun, dan terlebih lagi aksesibilitas itu ditentukan oleh negara mana yang paling membutuhkannya daripada negara yang mampu membelinya,' ujar Ibrahim.

Ibrahim mengatakan Indonesia harus bisa memanfaatkan momen Sidang Majelis Umum PBB untuk menyampaikan aspirasi negara-negara yang mempunyai keterbatasan anggaran.

'Jika negara kecil dan berkembang tidak diberi akses ke vaksin, dunia akan tetap berisiko terhadap pandemi,' ujar Ibrahim.

Peneliti Institut Studi Politik Paris, Prof. Bertrand Badie, menyoroti negara-negara besar gagal bekerja sama di tengah pandemi. Yang terjadi malah mereka saling menyalahkan.

Dia memaparkan contoh seperti tuduhan terhadap China yang dianggap menjadi biang keladi pandemi, dan lambannya penanganan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Selain itu, Amerika Serikat juga menyatakan akan keluar dari WHO jika tuntutan mereka tidak dipenuhi.

'Negara adidaya sangat berpandangan kolot terkait keamanan, dan kemanusiaan justru terancam dengan persaingan mereka. Ini pertanda buruk untuk masa depan,' kata Badie.

Sementara menurut peneliti International Crisis Group (ICG), Richard Gowan, semua pihak saat ini terlalu sibuk dengan dampak yang terjadi di dalam negeri akibat pandemi dan tidak melihat gambaran secara global.

'Saya sebenarnya sangat pesimis tentang peluang reformasi PBB atau perubahan dalam tataran pemerintahan dunia. Saya tidak melihat China dan AS sepakat dengan usulan reformasi besar-besaran,' ujar Gowan.

Terkait gagasan reformasi, Badie mengatakan PBB kini tidak berdaya menghadapi persaingan di antara negara-negara besar, seperti yang terjadi di awal pembentukannya.

Supaya agenda reformasi berjalan, kata Badie, maka lima negara anggota Dewan Keamanan PBB saat ini yaitu AS, China, Inggris, Prancis dan Rusia harus mengubah mental para pemimpin dan negara dari gaya Perang Dingin.

'Mereka akan selalu menolak karena hal itu akan mengarah kepada perombakan tatanan dunia, dan mereka takut kehilangan hak istimewa yang dipunyai oleh para oligarki pemilik nuklir,' ujar Badie.

[This article was first published in CCN Indonesia Post on 22 September 2020 and can be found at: here]

Share
Ingin mendapatkan informasi aktifitas The Habibie Center?