Acara Talking ASEAN Webinar on "AUKUS in the Indo-Pacific: Balancing or Provoking?" yang telah dilaksanakan pada Jumat, 12 November 2021 di Kanal Youtube The Habibie Center diliput oleh Harian KOMPAS ke sebuah artikel berjudul "Australia: AUKUS Bukan Pengkhianatan terhadap ASEAN" Untuk artikel selengkapnya, silakan lihat di bawah:

Australia: AUKUS Bukan Pengkhianatan terhadap ASEAN

Dalam pandangan Pemerintah Australia, pakta militer AUKUS seharusnya tidak dipandang sebagai ancaman bagi ASEAN secara keseluruhan ataupun negara-negara di kawasan sebagai individu. Sebaliknya, AUKUS bisa menjadi jembatan untuk memenuhi keinginan negara-negara ASEAN mewujudkan kawasan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka bagi siapa pun.

"AUKUS tidak memberikan dampak negatif bagi ASEAN. Kami membeli kapal selam bertenaga nuklir untuk menghadang China, bukan untuk mengancam Indonesia atau Malaysia. Saya tidak paham mengapa ada yang berpikir adanya AUKUS merupakan sebuah ancaman," kata Malcom Davis, analis senior Australia Strategic Policy Institute, saat berbicara dalam seminar daring tentang AUKUS yang diselenggarakan The Habibie Center, Jumat (12/11/2021). Dua narasumber lain pada seminar yang membahas tema "AUKUS: Balancing or Provoking" adalah dosen Universitas Pertahanan Letnan Kolonel Frega Wenas Inkiriwang dan dosen Departemen Hubungan Internasional Universitas Binus Curie Maharani Savitri.

Davis mengatakan, ada persepsi yang salah dalam membaca keberadaan pakta militer AUKUS yang diumumkan pada 15 September oleh Perdana Menteri Australia Scott Morrison. Keberadaan AUKUS, lanjut Davis, selain memperkuat sistem pertahanan Australia, diyakini akan memberikan keuntungan bagi negara-negara ASEAN karena sejalan dengan konsep ASEAN tentang kawasan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka.

Dia menyatakan, AUKUS bukanlah kebijakan yang bermaksud mengkhianati ASEAN. "AUKUS memperkuat kemampuan kami (dalam bidang pertahanan) yang juga memperkuat kami untuk melindungi kepentingan ASEAN. Saya mengasumsikan, kawasan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka adalah hal yang juga diinginkan oleh ASEAN," katanya.

Davis menambahkan, dalam jangka panjang Australia memang membutuhkan dukungan Amerika Serikat dan Inggris untuk memperkuat arsitektur pertahanannya. Australia berencana untuk merevitalisasi kemampuan militer di laut dengan membeli delapan kapal selam bertenaga nuklir dari Inggris, juga mendapatkan teknologi siber dan teknologi pertahanan udara dari kedua sekutunya itu. "Australia tidak berencana memiliki senjata nuklir. Kapal selam dan revitalisasi kemampuan pertahanan lebih untuk menahan China yang pengaruhnya makin luas," kata Davis.

Pengumuman pakta militer AUKUS di tengah hubungan diplomatik yang semakin buruk antara China, Australia, dan AS dikhawatirkan banyak pihak memberikan pengaruh besar terhadap keamanan kawasan, terutama Asia Tenggara. Dalam beberapa tahun terakhir kawasan ini menjadi titik pusat konflik antara anggota AUKUS dan China. Selain itu, AUKUS juga membuka kekhawatiran baru karena Australia tiba-tiba memutuskan untuk membeli kapal selam bertenaga nuklir dari Inggris alih-alih tetap menggunakan kapal selam bertenaga diesel bikinan Perancis.

Pemerintah Perancis merasa keputusan Australia itu tiba-tiba dan tidak dikonsultasikan sebelumnya dengan mereka. Davis mengatakan, pemutusan itu dilakukan karena biaya yang harus dikeluarkan Canberra membengkak. Kapal selam itu pun baru ada sekitar tahun 2040. Sementara dengan Inggris, mereka kemungkinan akan mendapatkan kapal selam lebih cepat.

Pemerintah Australia menyadari, langkah mereka menandatangani AUKUS tidak dipersepsikan secara ideal oleh banyak negara, terutama negara-negara ASEAN. Davis mengatakan, kunjungan Menteri Luar Negeri Australia Marise Payne ke beberapa negara ASEAN, termasuk Indonesia, bisa memberikan pandangan berbeda mengenai hal ini.

Keamanan teritorial

Letkol Frega dalam pemaparannya mengatakan, harus diakui pembelian kapal selam bertenaga nuklir telah menimbulkan dinamika di kawasan yang mengarah pada perlombaan persenjataan. Di sisi lain, dia juga khawatir kemungkinan pemanfaatan teknologi kapal selam ini untuk "berlayar" melewati wilayah teritorial Indonesia tanpa diketahui para penjaga perbatasan, terutama Angkatan Laut. Banyak negara ASEAN, termasuk Indonesia, tidak memiliki teknologi radar untuk memantau keberadaan kapal selam bertenaga nuklir.

Dia mengatakan, meski nuklir belum tentu menjadi jenis persenjataan yang dicari banyak negara, jenis persenjataan lain dengan tingkat kerusakan sama hampir pasti akan dicari sejumlah negara untuk menjamin keamanan teritorialnya.

Sementara Curie mengatakan, AUKUS bisa menjadi kesempatan bagi negara-negara ASEAN untuk memanfaatkannya bagi kepentingan nasional masing-masing. Pada saat yang sama, ia berharap agar negara-negara ASEAN tetap bersatu, tidak tergoda untuk memihak China atau AS dan sekutunya dalam situasi yang sangat kompleks itu. Meski demikian, dia menyadari kepentingan setiap negara akan berbeda-beda.

Artikel ini pertama kali diposting oleh Harian KOMPAS pada tanggal 12 November 2021 dan bisa ditemukan di: https://www.kompas.id/baca/internasional/2021/11/12/australia-aukus-bukan-pengkhianatan-terhadap-asean

Share
Ingin mendapatkan informasi aktifitas The Habibie Center?