Acara Talking ASEAN on "Regional Competition for Infrastructure Investment in ASEAN" yang telah dilaksanakan pada Kamis, 20 Desember 2019 di The Habibie Center diliput oleh Harian Kompas ke sebuah artikel berjudul 'Asia Pasifik Menjadi Ajang Kompetisi.' Untuk artikel selengkapnya, silakan lihat di bawah:

Asian Pasifik Menjadi Ajang Kompetisi

Sebagai wilayah dengan pertumbuhan ekonomi paling dinamis saat ini, Asia Pasifik menjadi ajang pertempuran pengaruh yang baru bagi negara-negara adidaya. Sentralitas ASEAN pun menjadi taruhan.

Pengajar Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, Muhammad Zulfikar Rakhmat, mengatakan, Amerika Serikat, Australia, China, dan Jepang merupakan negara maju yang tengah giat menanam pengaruh di kawasan Asia Pasifik melalui berbagai strategi, salah satunya pendanaan dan pembangunan infrastruktur.

Situasi ini memicu dinamika di kawasan. Di Indonesia, misalnya, China bersaing dengan Jepang untuk bekerja sama dalam pembangunan kereta cepat rute Jakarta-Bandung. Pada akhirnya, China memenangi proyek tersebut.

"China bersaing dengan Jepang untuk pembangunan infrastruktur, sedangkan Amerika Serikat bersaing dengan Australia untuk pengembangan smart city," kata Zulfikar, dalam diskusi Talking ASEAN yang diadakan The Habibie Center di Jakarta, Kamis (19/12/2019).

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia dan ASEAN

Meskipun berebut pengaruh, lanjutnya, keempat negara tersebut melihat ASEAN secara berbeda. AS dan Jepang melihat ASEAN sebagai mitra strategis nonsensitif yang berarti gejolak di ASEAN tidak langsung memengaruhi kepentingan kedua negara. Sementara itu, China dan Australia melihat ASEAN sebagai mitra strategis yang sensitif dalam bidang ekonomi dan politik.

Peneliti Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) Fauziah Zen menambahkan, di tengah persaingan itu, SEAN harus mewaspadai potensi yang dapat memengaruhi sentralitas. Ada beberapa negara yang rentan untuk dipengaruhi.

"Negara-negara tersebut belum memiliki manajemen fiskal yang baik dan lebih dekat dengan China karena kesamaan ideologi. Mereka menjadi lebih longgar dalam menerima pinjaman," tuturnya.

Fauziah melanjutkan, meskipun ASEAN baru mengadopsi Pandangan ASEAN tentang Indo-Pasifik pada Juni 2019, pandangan ini tidak mencantumkan konsensus mengenai perbatasan yang konkret di kawasan. Dengan demikian, setiap negara tetap memiliki perspektif berbeda terkait Indo-Pasifik, termasuk China, AS, dan Australia.

"ASEAN harus mengetahui apa yang diinginkannya, bukan apa yang China atau QUAD (AS, Jepang, Australia, dan India) inginkan guna menjaga sentralitas. ASEAN juga harus menjaga stabilitas makroekonomi. Dengan begitu, ASEAN tidak perlu takut terhadap siapa yang ingin berinvestasi," katanya.

Sebagai pemimpin tradisional ASEAN, ujarnya, Indonesia memiliki peran strategis berdasarkan segi geografis, ekonomi, dan demografis dalam pembangunan kawasan. Namun, Indonesia belum menunjukkan hal tersebut.

Keunikan ASEAN

Ekonom Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Faisal Basri, menambahkan, berbeda dengan Uni Eropa, keunikan ASEAN sebagai organisasi kawasan membuat kesepakatan yang diambil berdasarkan konsensus. Hal ini membuat kerja sama ekonomi di kawasan berjalan lambat.

"Namun, hal itu membuat anggota ASEAN yang berbeda satu sama lain minim konflik. Langkah pengembangan ASEAN menjadi unik karena ada pembagian tenaga kerja dan kompetensi antar-negara ASEAN untuk menarik investasi asing langsung. Akhirnya, kesejahteraan semua negara rata-rata naik dan tidak ada yang tertinggal," kata Faisal.

PwC mencatat, produk domestik bruto (PDB) ASEAN tumbuh dari 1.163 triliun dollar AS pada 2006 menjadi 2.720 triliun dollar AS pada 2017. PDB ASEAN diperkirakan akan tumbuh menjadi 4.090 triliun dollar AS pada 2022.

[Artikel ini pertama kali diposting oleh Harian Kompas pada tanggal 20 Desember 2019 dan bisa ditemukan di: https://kompas.id/baca/internasional/2019/12/20/asia-pasifik-menjadi-ajang-kompetisi-baru/]

Share
Ingin mendapatkan informasi aktifitas The Habibie Center?