JAKARTA, KOMPAS — Pernyataan bersama Presiden RI Prabowo Subianto dengan Presiden China Xi Jinping, 9 November 2024, tentang pembangunan bersama di ”area klaim tumpang tindih” atau areas of overlapping claims memicu kerisauan. Isu tentang sepuluh garis putus-putus China di zona ekonomi eksklusif Indonesia di Laut Natuna Utara kembali menguat.

Perdebatan terjadi karena tidak jelas asal-usul dan latar belakang munculnya kalimat ”area klaim tumpang tindih” itu. Masalah utamanya terletak pada ”formulasi bahasa” yang digunakan. Apabila tidak ada kalimat itu, maka tidak akan terjadi perdebatan.

Meski menjadi perdebatan, Darmansjah Djumala, pengamat hubungan internasional dari Universitas Padjadjaran yang juga mantan Duta Besar RI untuk Polandia, Austria, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa, menekankan, masalah ini tidak akan memengaruhi hubungan Indonesia dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara karena itu kerja sama bilateral antara Indonesia dan China.

”Kita tidak pernah ada masalah, tetapi kenapa kata overlapping itu masuk dalam pernyataan bersama itu. Sebut saja di laut wilayah maritim atau di lautan tertentu. Saya tidak tahu apa yang terjadi. Kita tunggu saja kesepakatan tertulisnya. Nanti akan bisa diketahui apa yang dikerjakan, modalitas, dan formatnya. Ini, kan, masih dibahas oleh komite antarpemerintah,” kata Djumala di sela-sela semintar internasional bertema ”Navigating the Future of the Indo-Pacific” yang diadakan The Habibie Center dalam rangka memperingati ulang tahun ke-25, Kamis (21/11/2024).

Guru Besar Universitas Pertahanan dan Kepala Staf TNI Angkatan Laut (2012-2015) Marsetio menjelaskan, China secara sepihak mengklaim 90 persen Laut China Selatan sebagai miliknya sebagaimana dinyatakan dalam peta sepuluh garis putus-putus.

Dalam konteks sengketa kedaulatan di LCS antara China, Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Taiwan, Indonesia bukanlah negara pengklaim. Indonesia sejak dulu tidak mengakui sembilan garis putus-putus yang kemudian menjadi sepuluh garis putus-putus China.

Lewat sepuluh garis putus-putus itu, China memasukkan seluruh perairan Taiwan ke dalam peta baru terbitan Agustus 2023. Di peta baru tersebut, perairan utara Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, yang merupakan ZEEI di Laut Natuna Utara tetap ada di dalamnya. Di ZEEI itu Indonesia memiliki hak berdaulat berdasarkan UNCLOS 82 yang sudah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985.

China juga telah meratifikasi sehingga UNCLOS 82 berlaku di setiap negara. Namun, China mengingkarinya, termasuk tidak mengakui putusan mahkamah arbitrase internasional PBB tahun 2016 yang diajukan Filipina. Mahkamah itu menolak klaim China atas Laut China Selatan yang didasarkan pada alasan historis.

Hak berdaulat Indonesia di ZEE antara lain melakukan eksplorasi dan eksploitasi ekonomi, pengelolaan dan konservasi sumber daya alam hayati dan nonhayati, serta sejumlah hak berdaulat lainnya sesuai dengan ketentuan UNCLOS 82 dan UU No 5/1983 tentang ZEE. Implementasi hak berdaulat Indonesia itu juga dinyatakan dalam UU No 32/2014 tentang Kelautan.

”Sesungguhnya, pengelolaan sumber daya hayati di ZEE bukan monopoli Pemerintah RI. Sesuai UNCLOS 82, pengelolaan di sana bisa dilakukan pemerintah negara asing berdasarkan izin atau persetujuan Pemerintah RI. Dalam konteks seperti inilah pernyataan bersama Prabowo dan Xi menjadi relevan. Dengan pengelolaan bersama diharapkan nantinya tidak terjadi lagi gesekan antara kapal-kapal Pemerintah RI dan kapal-kapal Coast Guard China di perairan ZEE,” kata Marsetio.

Kesepakatan secara tertulis antara Indonesia dan China belum diketahui kapan akan selesai. Namun, kata Djumala, yang jelas nanti akan menjadi lebih jelas apa yang dimaksud dengan area klaim tumpang tindih itu dan posisi persisnya di mana, apakah di dalam Pulau Natuna atau di dalam.

Seumpama di dalam kesepakatan tertulis itu disebut, misa lnya, di Laut Utara dan disebut juga sebagai wilayah China barulah Indonesia bisa menanyakan di mana letak wilayah China dan koordinatnya. ”Ini kesempatan kita untuk tanya ke mereka (China). Selama ini mereka tidak pernah menjawab soal ini,” ujarnya.

Kerisauan mengenai pernyataan bersama itu muncul dalam seminar yang membahas perkembangan kebijakan luar negeri Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo yang mengedepankan pendekatan strategis ”tetangga yang baik”.

Pendekatan ini digunakan pemerintahan Prabowo untuk membangun kemitraan konstruktif di kawasan regional ASEAN dengan tetap memprioritaskan keamanan nasional dan pertahanan. Memperkuat pertahanan Indonesia untuk menjaga kepentingan nasional ini dan dihargai oleh negara lain serta mengelola dinamika geopolitik dan ekonomi menjadi pendekatan baru.

Ini ditekankan karena, kata Djumala, Indonesia menghadapi dinamika geopolitik di kawasan regional yang semuanya untuk menghadapi China. Dinamika regional itu ada aliansi Australia, Amerika Serikat, dan Inggris (AUKUS), aliansi AS-Jepang-Korea Selatan, aliansi militer AS-Filipina-Jepang, dan kantor Pakta Pertahanan Atlantik Utara di Jepang.

Untuk menghadapi ini, Indonesia dapat memperkuat sentralitas ASEAN, memperkuat kerja sama ekonomi intra-ASEAN, dan mengundang investor dari China, Jepang, Korsel, dan AS untuk mengembangkan pulau-pulau terluar seperti Natuna.

Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies Yose Rizal Damuri menambahkan, pemerintahan Prabowo akan memanfaatkan kebijakan politik ekonomi internasional untuk mendukung kepentingan nasional seperti ketahanan pangan dan energi. Prabowo menginginkan Indonesia mampu menghidupi diri sendiri dan pemerintahan Prabowo akan tetap proteksionis untuk memberi Indonesia daya ungkit.

Indonesia frustrasi karena China lebih banyak investasi ke Vietnam. Indonesia gagal memanfaatkan kesempatan dari dampak perang dagang AS-China. Menurut Yose, ini karena struktur produksi yang tidak sesuai, integrasi rendah ke dalam rantai pasokan global, dan lingkungan bisnis yang sangat tidak pasti.

Pemerintahan Prabowo akan memanfaatkan pasar yang besar dan sumber daya alam sebagai daya ungkit. Ini berarti sumber daya alam akan menjadi lebih strategis dalam lima tahun ke depan. Indonesia menggunakan kebijakan industrial proteksionis agar bisa memanfaatkan momentum.

Dengan strategi ini diharapkan bisnis akan datang dan berinvestasi di Indonesia. Tidak hanya menjual produk mereka atau mengambil bahan-bahan mentah dari luar negeri. ”Mandiri secara ekonomi itu penting untuk mencapai kesejahteraan Indonesia dan Indonesia punya banyak kekayaan alam. Hubungan ekonomi internasional menjadi alat untuk meningkatkan ketahanan dan kemerdekaan,” kata Yose.

Artikel ini pertama kali diposting oleh Kompas pada tanggal 21 November 2024 dan bisa ditemukan di:

Ingin mendapatkan informasi aktifitas The Habibie Center?