Kepala Departemen Politik dan Pemerintahan, Bawono Kumoro dikutip dalam sebuah artikel CNN Indonesia berjudul 'Antara Geger TWK KPK dan Agenda Politik Parpol untuk 2024' Untuk artikel selengkapnya, silakan lihat di bawah:

Antara Geger TWK KPK dan Agenda Politik Parpol untuk 2024

Mayoritas partai politik (parpol) di parlemen RI hingga saat ini masih diam menyikapi geger polemik asesmen pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi aparatur sipil negara (ASN).

Dari total sembilan partai di Senayan, suara kritik hanya terdengar dari PKS dan Demokrat. PKS sempat mengkritik salah satu pertanyaan dalam yang meminta pegawai lembaga antirasuah memilih antara Alquran dan Pancasila.

Sedangkan Demokrat, hanya menunjukkan sikap pasrah dengan meyakini bahwa kebenaran dalam polemik asesmen KPK akan terkuak. Hal itu diungkapkan ketua umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

Selebihnya, alih-alih mempertanyakan proses TWK yang banyak dinilai janggal, mayoritas partai justru mendukung asesmen.

Pengamat politik dari The Habibie Center, Bawono Kumoro, mengaku tak heran dengan sikap mayoritas partai terhadap geger di tubuh lembaga antirasuah. Menurut dia, sikap tersebut tak lebih dari bentuk konsistensi mereka dalam mendukung revisi UU KPK sejak awal pada 2019 silam.

Menurut Bawono, TWK atau asesmen terhadap 1.349 pegawai komisi independen itu hanya puncak dari revisi UU KPK Nomor 19 Tahun 2019. Ia mengamini bahwa revisi itu merupakan upaya agar KPK tak lebih kuat dari sebelumnya.

"Karena itu tidak mengherankan jika sekarang buah dari revisi UU KPK itu menimbulkan riuh rendah, ya partai-partai itu diam aja," kata dia kepada CNNIndonesia.com,

"Ya, artinya sikap diam itu tanda kutip bentuk konsistensi mereka terhadap revisi UU KPK dua tahun lalu. Jadi konsistensi untuk membuat KPK tidak lebih kuat dari yang sebelum revisi," sambungnya.

Lebih lanjut, Bawono tak memungkiri munculnya dugaan bahwa sikap diam mayoritas parpol terkait kisruh KPK itu berkaitan dengan agenda politik 2024. Menurut dia, parpol akan mengambil banyak keuntungan, sebab, umumnya para kader merekalah yang menjadi target lembaga antirasuah.

Bawono meyakini bahwa revisi UU KPK, asesmen pegawai, hingga TWK hanya akan bermuara pada pelemahan kerja-kerja pemberantasan korupsi.

"Tentu ada kaitannya ke sana. Jadi mungkin, dengan adanya riuh rendah KPK ini yang entah kapan selesainya, ke depannya agenda-agenda pemberantasn korupsi tidak akan sesolid dulu lagi," kata Bawono.

Mantan Juru Bicara KPK, Febri Diansyah sebelumnya menyebut, praktik-praktik korupsi akan terbuka lebar menjelang tiga hajatan politik hingga 2024: pemilihan presiden, pemilihan legislatif, hingga kepala daerah.

Menurut dia, asesmen KPK telah membabat habis independensi kerja-kerja pemberantasan korupsi di tubuh lembaga antirasuah. Kondisi itu menyebabkan, momentum politik 2024 akan banyak memberi peluang praktik korupsi.

"Maka yang terjadi adalah oligarki akan semakin kuat karena tidak ada kontestasi politik yang fair, tidak ada keseimbangan misal oposisi yang kuat dan tidak ada pihak-pihak yang berbeda dengan kekuasaan karena mereka bisa dihajar salah satunya dengan tools lembaga antikorupsi yang tidak independen," kata Febri yang telah mengundurkan diri dari KPK tersebut.

Pernyataan serupa Bawono dan Febri Diansyah diungkapkan pula oleh pengamat politik dari Universitas Andalas, Padang, Asrinaldi. Ia mengamini, polemik TWK KPK hanya akan menjadi bancakan para politisi, terutama menjelang hajatan politik menuju 2024.

Pendapat Asrinaldi merujuk fakta bahwa selama ini, para parpol memang membutuhkan ongkos politik yang besar di setiap momentum politik besar. Apalagi, pada 2024 tiga agenda politik akbar akan digelar di waktu yang bersamaan.

Di sisi lain, sumber dana parpol yang diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2011, masih di bawah kebutuhan mereka dalam proses suksesi. Menurut Asrinaldi, jumlah yang mereka dapat dari iuran anggota dan negara masih jauh dari kebutuhan mereka di setiap hajatan politik.

"Kalau pun ada, minimum, karena biayanya habis untuk operasional," kata dia kepada CNNIndonesia.com.

"Nah persoalannya adalah ketika mereka menghadapi pemilu itu yang dibutuhkan sangat besar. Memobilisasi massa membutuhkan biaya yang tidak sedikit," imbuhnya.

Walhasil, kata Asrinaldi, kondisi itu membuat banyak parpol lebih banyak menerima dana sumbangan dari luar. Masalahnya, sumber keuangan tersebut kerap tak dilaporkan dengan transparan, sebab jumlahnya di atas yang ditentukan UU.

UU Nomor 2/2011 tentang Partai Politik mengatur sejumlah sumber keuangan parpol. Selain iuran anggota dan pemerintah, parpol boleh menerima sumbangan dari perseorangan dan badan atau lembaga, namun dengan jumlah yang dibatasi.

Khusus perseorangan, jumlahnya dibatasi maksimal hanya Rp1 miliar. Sedangkan, dari badan atau lembaga maksimal Rp7,5 miliar. Sedangkan, sumber yang dilarang yakni dari luar negeri dan perusahaan publik.

"Sumbangan dalam konteks pilkada, pilpres, oleh perusahaan, organisasi, individu itu tidak selamanya, dan cenderung tidak dilaporkan secara jujur," kata Asrinaldi.

"Dan itu menjadi sumber masuknya pencucian uang," imbuhnya.

Sementara itu menanggapi tudingan kisruh di KPK saat ini, terutama TWK, dengan agenda politik 2024, Juru Bicara lembaga antirasuah Ali Fikri itu menyatakan terlalu jauh.

Hal tersebut disampaikan merespons pernyataan mantan juru bicara KPK, Febri Diansyah yang menyebut pelaksanaan TWK tak terlepas dari agenda politik 2024.

"Terlalu jauh jika mengkaitkan pelaksanaan TWK bagi seluruh pegawai tetap maupun tidak tetap KPK ini dengan kontestasi politik 2024," kata Plt Juru Bocara KPK Ali dalam keterangannya.

Ali menyatakan sebagai lembaga penegak hukum, KPK tak akan menabrak ketentuan yang diatur dalam undang-undang. Menurutnya, independisi merupakan hal mutlak bagi setiap lembaga penegak hukum, tak terkecuali KPK.

"Hingga saat ini Independensi itu masih menjadi prinsip kerja kami sebagaimana amanat UU KPK," ujarnya.

Lebih lanjut, Ali mengatakan KPK tak pernah melihat latar belakang sosial maupun politik dalam menangani kasus korupsi. Menurutnya, penanganan kasus hanya mengacu pada kecukupan alat bukti sesuai aturan hukum.

Selain itu, kata Ali, KPK juga tak hanya menangani penindakan korupsi, tetapi juga memiliki tugas pencegahan, monitoring, koordinasi, supervisi, hingga pendidikan dalam memberantas korupsi.

Parpol Sikapi Kaitan Kisruh KPK dan Agenda Politik 2024

Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Keadilan Sejahtera (DPP PKS), Mardani Ali Sera, menilai analisa yang disampaikan Febri Diansyah bisa dikatakan memang memiliki kebenaran.

Menurut Mardani KPK yang tidak independen bisa menjadi alat yang efektif untuk menjatuhkan kandidat di Pemilu 2024 mendatang.

"Semua analisa punya kemungkinan benar. KPK yang tidak independen dapat menjadi alat yang efektif untuk menjatuhkan satu atau lebih kandidat," kata Mardani kepada CNNIndonesia.com.

Dia menjelaskan, analisa Febri tersebut berpotensi membuat kontestasi Pemilu 2024 berlangsung tidak adil. Berangkat dari itu, Mardnai menyatakan bahwa upaya menyingkirkan sebanyak 75 pegawai KPK harus dilawan agar tidak menjadi preseden buruk bagi instansi lain.

"Apapun, penyingkiran 75 yang pegawai KPK adalah langkah yang harus dilawan karena bisa jadi preseden dilakukan pada lembaga atau proses di tempat lain," ucapnya.

Sementara itu Ketua Majelis Kehormatan Partai Gerindra Habiburokhman mengatakan Febri memiliki hak berpendapat, dan tudingan bahwa KPK jadi alat politik bukanlah dugaan baru. Dia pun menyinggung saat Anas Urbaningrum yang kala itu Ketua Umum Demokrat menjadi tersangka KPK pada 2013 silam.

"Pak Febri tentu punya hak berpendapat, ini negara demokrasi. Tudingan KPK jadi alat politik bukan hal baru. Waktu Pak Anas Urbaningrum dipersangkakan, juga ada narasi pengusutan tersebut kental nuansa polittik sampai muncul istilah nabok nyilih tangan," kata Habib kepada wartawan.

Dia yang juga anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Gerindra itu mengatakan tidak mau berasumsi hanya berdasarkan prasangka. Habib pun mengajak semua pihak untuk mengawal dan berdoa agar KPK tetap bekerja maksimal seperti setahun terakhir.

Menurutnya, kegiatan KPK seperti pencegahan, edukasi, dan penindakan selama dipimpin Firli Bahuri berjalan dengan baik.

Terkait nasib 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos TWK dalam rangka alih status menjadi ASN, Habiburokhman mengatakan keputusan yang dibuat saat ini belum final. Dia yang juga Waketum Partai Gerindra itu pun berharap kemungkinan untuk merumuskan solusi terkait masalah itu masih terbuka.

"Jika pihak terkait bisa duduk bersama, kita masih berpeluang merumuskan solusi konkret bagaimana menyelamatkan 75 orang tanpa perlu mendiskreditkan pimpinan KPK," tutur Habiburokhman.

[This article was first published in CNN Indonesia Post on 9 June 2021 and can be found at: here]

Share
Ingin mendapatkan informasi aktifitas The Habibie Center?