Acara Talking ASEAN Webinar on "Durian Diplomacy in ASEAN: Future China's Dominance or a New Door of Opportunities?" yang telah dilaksanakan pada Rabu, 12 Oktober 2022 di Kanal Youtube The Habibie Center diliput oleh Harian KOMPAS ke sebuah artikel berjudul "ASEAN-China : Potensi Besar, Tantangan Besar" Untuk artikel selengkapnya, silakan lihat di bawah:

ASEAN-China : Potensi Besar, Tantangan Besar

Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) merupakan mitra dagang terbesar bagi China. Demikian pula sebaliknya. Masa depan kerja sama ekonomi kedua belah pihak menjanjikan sekaligus penuh tantangan.

Salah satu pendiri Pusat untuk Asia Baru yang Inklusif (CNIA) dari Malaysia, Koh King Kee, menyatakan, China sebagai mitra dagang terbesar ASEAN untuk sekarang dan masa depan adalah fakta yang tak terelakkan. Oleh sebab itu, hal yang harus dipastikan adalah komitmen China untuk menerapkan kerja sama inklusif.

Pada 2030, pasar di China diperkirakan tumbuh dua kali lipat dibandingkan dengan posisi di 2019. Jumlah ini setara dengan gabungan pasar Amerika Serikat dan Eropa.

"Ini adalah janji China untuk tak memaksakan kehendak ataupun nilai-nilai yang mereka anut kepada negara-negara mitra. Artinya, siapa pun bisa menjadi mitra selama ada timbal balik," kata Koh pada acara diskusi The Habibie Centre bertajuk "Diplomasi Durian di ASEAN: Dominasi China di Masa Depan atau Pintu untuk Kesempatan Baru?", di Jakarta, Rabu (12/10/2022).

Pada 2030, pasar di China diperkirakan tumbuh dua kali lipat dibandingkan dengan posisi di 2019. Jumlah ini setara dengan gabungan pasar Amerika Serikat dan Eropa. Ini merupakan pasar besar untuk produk-produk ekspor ASEAN.

Dalam hal investasi, investasi China di negara-negara ASEAN paling terlihat pada proyek-proyek Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI), yaitu pembangunan infrastruktur transportasi umum. Contohnya adalah pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung di Indonesia serta jalan- jalan tol di Laos dan Kamboja.

Ada kecemasan dari beberapa pengamat bahwa China akan menerapkan politik utang kepada negara-negara yang mereka beri modal. Wujudnya berupa dukungan terhadap China di tataran global.

Terkait hal ini, Koh menyatakan, kecil kemungkinan China akan melakukannya. Setiap negara yang ditawari kerja sama memiliki kebebasan untuk memilih dan merumuskan persyaratan.

"Juga ada faktor budaya China bahwa mereka akan memberlakukan pihak lain seperti bangsa China ingin diperlakukan. Artinya, jika tawaran yang diberikan China kepada mitra buruk, mereka sendiri yang akan rugi," papar Koh.

Ia mengakui, dari perspektif negara-negara Barat, standar yang diterapkan China bisa dibilang rendah. Akan tetapi, ada penjelasan rasional. China sebagai sesama negara berkembang mengerti tidak bisa memberi persyaratan yang kelewat tinggi untuk mitra-mitra di Asia Tenggara karena tidak akan bisa dipenuhi oleh kedua belah pihak.

Pada kesempatan yang sama, Donna Gultom, peneliti senior dari Pusat Kajian Kebijakan Indonesia (Centre for Indonesian Policy Studies/CIPS), menyatakan, ASEAN dan China terikat dalam perjanjian perdagangan bebas. Ini terutama menyangkut Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional atau RCEP.

Sejak 2012, ASEAN menikmati perdagangan bebas dengan China. Secara umum, pembebasan tarif antara ASEAN-China adalah 95 persen. Khusus di Indonesia, pembebasan tarifnya mencapai 92 persen dari komoditas yang diperjualbelikan.

Nilai neraca perdagangan ASEAN dengan China untuk tahun 2021 adalah 878 miliar dollar Amerika Serikat (AS). Pada 1991, ketika hubungan kedua belah pihak baru dimulai, nilai neraca perdagangannya hanya 8,36 miliar dollar AS.

Namun besarnya kerja sama ekonomi China dan ASEAN, pada sisi lain, menyebabkan perekonomian ASEAN sensitif terhadap dinamika di China. Mengutip analisis Bank Dunia, Donna menjelaskan, jika pertumbuhan ekonomi China terkontraksi 1 persen, Indonesia akan turut mengalami kontraksi sebesar 0,3 persen.

Di Malaysia malah lebih besar lagi, yakni 0,8 persen. Sementara itu, di Vietnam, akan terjadi gangguan rantai pasok. Hal ini karena mayoritas barang setengah jadi mereka diimpor dari China.

"ASEAN harus mencari cara untuk tidak terlalu bergantung dari China. Saat ini, komoditas yang paling banyak kita ekspor ke China adalah produk-produk pertanian, perhutanan, dan perikanan," tutur Donna.

Ia mengacu kepada komitmen Pemerintah China yang akan membeli produk-produk dari ASEAN dengan nilai capaian 150 miliar dollar AS pada 2025. Buah-buahan mendominasi komoditas ekspor ASEAN. Asia Tenggara mengekspor dalam bentuk bahan mentah ataupun bahan baku.

Menurut Donna, salah satu caranya ialah dengan mengembangkan komoditas lain untuk diekspor ke China. Selain itu, juga memperbesar pasar-pasar yang lain. Misalnya, menjajaki lebih lanjut pasar ke negara-negara Asia, Amerika, dan Eropa. Selama ini, mereka telah menjadi pasarASEAN meskipun skalanya tidak terlalu besar.

Narasumber lain, Jayant Manon, mantan ekonom Bank Pembangunan Asia yang kini menjadi peneliti di Institut Kajian Asia Tenggara Yusof Ishak (ISEAS), Singapura, mengatakan, wilayah Asia Tenggara menikmati dampak positif relatif dari adanya berbagai peraturan baru di China serta perang dagang negara itu dengan AS.

Sejak awal, Pemerintah China memberlakukan peraturan baru mengenai peningkatan upah kerja serta mitigasi pencemaran industri. Otomatis, berbagai perusahaan China memilih angkat kaki dari tanah air sendiri untuk membangun pabrik-pabrik baru di negara lain.

Hal ini kemudian ditambah dengan perang dagang AS-China yang membuat barang ekspor China dikenakan tarif sangat tinggi. Untuk komoditas dengan tarif normal 15 persen, sekarang tarif akibat perang dagang bisa melonjak hingga 49 persen.

"Asia Tenggara merupakan pilihan yang wajar karena merupakan negara berkembang dan siap menerima penanaman modal asing langsung. Akan tetapi, hasilnya tidak seperti yang kita harapkan," ujar Manon.

Ia memaparkan, negara-negara ASEAN mengharapkan investasi dan pembukaan pabrik yang bisa turut memajukan industri dalam negeri. Kenyataannya, hanya industri padat karya China yang datang ke Asia Tenggara. Antara lain ialah industri konveksi dan sepatu yang banyak membuka pabrik di Malaysia, Thailand, dan Vietnam.

Namun, industri-industri kunci seperti sektor padat teknologi justru tidak keluar dari China. Pabrik-pabrik pembuatan mobil, gawai pintar, dan barang-barang elektronik tidak turut pindah ke Asia Tenggara. Padahal, ini adalah industri yang akan memajukan suatu negara.

"Melihat hal ini, memang perlu dicari suatu faktor yang bisa meningkatkan posisi tawar-menawar ASEAN agar China ataupun negara-negara lain yang berinvestasi di Asia Tenggara, mau mengembangkan industri selain padat karya," tutur Manon. Kemampuan mengembangkan industri padat teknologi ini yang memungkinkan suatu negara tidak terlalu bergantung kepada negara lain, kecuali dalam hal bahan baku.

Artikel ini pertama kali diposting oleh Harian KOMPAS pada tanggal 13 Oktober 2022 dan bisa ditemukan di: https://www.kompas.id/baca/internasional/2022/10/12/asean-harus-bisa-meningkatkan-posisi-tawar-ekonomi-di-hadapan-china

Share
Ingin mendapatkan informasi aktifitas The Habibie Center?